Lapas di Tengah Rezim Hukum Pidana

Saya sedang menonton Talkshow Mata Najwa Rabu malam lalu. Masuk pesan dari Redaksi Gema Baiturrahman. Saya diminta menulis catatan tentang pembinaan di lembaga pemasyarakatan (Lapas). Tema acara Mata Najwa malam itu: “Disiksa di Penjara”. Sebelumnya, kita dikejutkan dengan tragedi kebakaran di Lapas Tanggerang yang menewaskan 40 lebih warga binaan. Mata Najwa malam itu mengetengahkan kemungkinan … Read more

...

Tanya Ustadz

Agenda MRB

Saya sedang menonton Talkshow Mata Najwa Rabu malam lalu. Masuk pesan dari Redaksi Gema Baiturrahman. Saya diminta menulis catatan tentang pembinaan di lembaga pemasyarakatan (Lapas). Tema acara Mata Najwa malam itu: “Disiksa di Penjara”.

Sebelumnya, kita dikejutkan dengan tragedi kebakaran di Lapas Tanggerang yang menewaskan 40 lebih warga binaan. Mata Najwa malam itu mengetengahkan kemungkinan pelanggaran HAM terhadap warga binaan di Lapas Narkotika Yogyakarta. Dan sengkarut masalah pembinaan di lapas lainnya.

Sebagai warga negara yang pernah “jak beut” atau “nyantri” di Lapas IIA Banda Aceh, saya bersaksi masalah pembinaan di lapas memang sangat kompleks.

Secara tertulis, konsep pembinaan dalam penjara di Indonesia konon adalah salah satu yang terbaik di dunia. Sejak tahun 70-an sudah ada ahli pemasyarakatan di jajaran pemerintah RI yang membangun konsep “dari sangkar ke sanggar”. Itu juga terlihat jelas dari penggantian nama dari “penjara” ke “lembaga pemasyarakatan” atau lapas.

Tapi, seperti dalam banyak hal lain di negeri ini, konsep bagus belum tentu menjelma jadi praktek yang baik. Banyak faktor yang menjadi tantangan dalam mencapai tujuan mulia pembinaan di berbagai lapas.

Saya beruntung dapat kesempatan belajar di Lapas IIA Banda Aceh. Kepemimpinan dan manajemen di Lapas ini sangat baik. Tentu saya tak bisa mengklaim sebagai yang terbaik karena saya belum–semoga tidak pernah–mengalami lapas lainnya. Tapi beberapa warga binaan yang pernah nyantri di berbagai lapas lainnya di Aceh bersaksi bahwa pengalaman mereka di Lapas IIA Banda Aceh tersebut adalah yang terbaik.

Fasilitas fisik lapas yang relatif bagus, bersih, indah, dan rapi adalah kondisi awal yang sangat menentukan. Kebersihan dan kerapian menularkan energi positif pada semua orang, warga binaan maupun petugas lapas.

Adanya program dan kegiatan fisik maupun non-fisik sangat membantu hadirkan ketentraman lewat rutinitas positif warga binaan. Lapas IIA Banda Aceh mempunyai fasilitas olahraga yang memadai, klinik kesehatan dan dokter, bengkel karya, ruang bakery, kebun dan lahan pertanian, taman yang luas dan indah, kantin, taman yang luas dan indah, hingga mesjid yang dilengkapi buku bacaan.

Pengajian rutin, yasinan, dan peringatan hari besar Islam dilakukan warga binaan secara mandiri. Pimpinan lapas dan para stafnya ikut menfasilitasi. Kadang secara institusi, tapi seringkali secara pribadi karena keterbatasan institusional. 

Over capacity sebabkan keterbatasan

Masalahnya manajemen lapas sumberdayanya sangat terbatas. SDM nya terbatas, terutama dari segi jumlah. Apalagi jika bicara kapasitas dan anggaran.

Lapas itu ibarat “negara mini” dengan semua departemennya. Dapur, misalnya, harus menyediakan makan tiga kali sehari untuk semua penghuninya. Air dan listrik tidak boleh terputus atau warga binaan bisa gelisah bahkan membuat keributan.

Salah satu penyebab utama keterbatasan adalah over capacity.

Konon nyaris semua lapas di Indonesia kelebihan penghuni berkali lipat. Lapas IIA Banda Aceh, misalnya, berisi sekitar 600 warga binaan. Kapasitas seharusnya 380 orang.

Salah satu penyebab over capacity adalah kuatnya rezim pemidanaan di Indonesia. Terlalu banyak masalah hukum berakhir dengan pemidanaan. Bukan hanya pelaku kriminalitas kekerasan dan pembunuhan, koruptor, maling, dan pemerkosa, pengedar atau bandar narkoba, lapas kita justru lebih banyak dihuni pengguna narkoba yang harusnya mendapatkan rehabilitasi ketimbang penjara. Hukuman kasus narkoba juga terbilang panjang-panjang.

Sepuluh tahun terakhir, lapas juga mulai diisi terpidana kasus UU ITE yang kontroversial itu. Termasuk saya yang didakwa semena-mena dengan pasal karetnya. Padahal pidana harusnya jadi ‘ultimum remedium’. Pemidanaan harusnya jadi upaya hukum terakhir.

Alhamdulillah, kedzaliman yang saya alami dihentikan oleh negara lewat amnesti dari Presiden RI. Tapi masih banyak warga negara yang dikriminalisasi dengan pasal-pasal karet UU ITE yang draconian itu.

Dengan over capacity sumber daya yang terbatas harus dicukupkan untuk beban yang makin besar. Menjadi pimpinan dan manajemen lapas jelas penuh tantangan. Terutama jika pendekatan kemanusiaan harus tetap dijalankan.

Ini membuat saya berterima kasih pada dan kagum dengan dedikasi jajaran pimpinan, staf, dan polsus lapas di Lapas IIA Banda Aceh. Kewajiban mereka seharusnya membina 380 warga binaan sesuai kapasitas lapas itu. Tapi mereka harus membina sekitar 600 orang. Semuanya dengan segala keterbatasan yang ada.

Ironisnya, semua biaya proses hukum dan akibat hukum, termasuk pemenjaraan itu harus ditanggung Rakyat lewat negara.  Makin banyak yang dipidana dan dipenjara, makin besar beban anggaran negara harus dihabiskan untuk warga binaan dalam semua lapas itu. Padahal sebagian besar warga binaan dalam kondisi idle, alias tidak produktif.

Adalah baik sekali lapas menjalin kerjasama dengan berbagai lembaga dan relawan untuk mengurangi keterbatasan yang ada. Baitul Mal Aceh, misalnya, dapat menyalurkan bantuan insentif imam dan pengasuh TPA di mesjid Lapas IIA Banda Aceh.

Kelompok relawan datang memberi pelatihan public speaking hingga ketrampilan produksi sederhana. Ada juga yang datang mengajarkan tari-tarian Aceh. Bakery Lapas IIA telah menghasilkan aneka produk pastri yang lezat berkualitas. Lahan kebun dan pertanian telah hasilkan padi dan kacang tanah yang benihnya disumbang dermawan dari luar lapas.

Tentu saja ada warga binaan di berbagai lapas yang tetap nakal dan bandel. Mereka ini perlu pendisiplinan. Tapi pendisiplinan yang tetap terukur dan manusiawi. Di sini juga perlu kepemimpinan yang tegas sekaligus menganyomi.

Karena itu saya makin kagum dengan para petugas lapas yang berdedikasi tinggi. Mereka bisa tetap memanusiakan warga binaan, “para terpidana”, yang seringkali sudah kita anggap tak lebih dari “sampah masyarakat”. Sikap profetik bahkan ilahiah yang pintu maaf dan rahman-Nya tak pernah tertutup.

Dialog

Tafsir dan Hadist

Dinas Syariat Islam

Duta Aceh untuk Dunia

Risna Erita, S.Pd. Duta Aceh untuk Dunia  Bila ajakan dari perempuan muda kelahiran Ujung Pandang, 1 September 1996 ini, agar menjadi pemuda produktif dan kreatif,

RAMADHAN MUBARAK

GEMA JUMAT, 25 MEI 2018 Prof. Dr. Tgk. H. Azman Ismail, MA (Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman) Surat al-Baqarah ayat 183 “Hai orang-orang yang beriman,

Menghadapi Musibah

GEMA JUMAT, 5 OKTOBER 2018 Katakanlah (Muhammad),”Tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah

Menuju Islam Khaffah

Tabloid Gema Baiturrahman

Alamat Redaksi:
Jl. Moh. Jam No.1, Kp. Baru,
Kec. Baiturrahman, Kota Banda Aceh,
Provinsi Aceh – Indonesia
Kode Pos: 23241

Tabloid Gema Baiturrahman merupakan media komunitas yang diterbitkan oleh UPTD Mesjid Raya Baiturrahman

copyright @acehmarket.id 

Menuju Islam Kaffah

Selamat Datang di
MRB Baiturrahman