Era globalisasi yang kita hadapi saat ini bukan hanya membawa dampak positif, namun juga menciptakan dampak negatif terhadap kehidupan manusia. Dampak tersebut dapat dilihat pada kehidupan manusia sehari-hari dimana manusia digiring pada kebiasaan untuk memperoleh segala sesuatunya dengan mudah dan bahkan instan.
Teknologi baru saat ini telah memudahkan manusia untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaannya dengan sangat mudah sehingga ia tidak banyak melakukan aktivitas fisik yang diperlukannya. Hal tersebut pada akhirnya akan memupuk rasa malas dalam diri manusia.
Dalam Islam sesungguhnya malas itu sangat dicela dan tidak baik untuk dipelihara. Islam sangat menekankan agar umatnya selalu berusaha untuk menjauhi perbuatan malas. Nabi Muhammad saw pernah berkata, “Jauhilah malas dan tidak semangat, sebab kedua sifat tersebut akan menghalangimu untuk memperoleh manfaat dari dunia dan akhirat.”
Sementara Imam Ali ‘Alaihissalam pernah berkata: “Seseorang yang malas hingga berlebihan maka akan menjadi lemah dan ia akan menghancurkan kehidupannya, dan akibatnya, akan mengarah kepada dosa dan ketidaktaatan kepada Allah Swt.
Sebagaimana kita pahami, bahwa makna malas adalah meninggalkan aktivitas yang bermanfaat padahal mampu menjalankannya. Orang yang malas tidak memiliki cita-cita, yang dimiliki hanyalah angan-angan. Mereka punya harapan, tapi tak mau bersusah payah untuk menggapainya. Maka harapan orang malas pada akhirnya pastilah kandas. Inilah bedanya dengan cita-cita, yang secara sadar dicari dan ditempuh oleh pemiliknya.
Efek kebiasaan bermalas-malasan semuanya buruk. Tidak ada suatu aktivitas kebaikan yang diisi dengan kemalasan melainkan dampaknya buruk. Begitu besar efek buruk yang diakibatkan kemalasan, hingga Nabi mengajarkan kita setiap pagi dan petang memohon perlindungan kepada Allah dari kemalasan, di antaranya doa yang diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadist riwayat Muslim,
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan, rasa malas, rasa takut, kejelekan di waktu tua, dan sifat kikir. Dan aku juga berlindung kepada-Mu dari siksa kubur serta bencana kehidupan dan kematian.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Terkait dengan sifat malas, sebagian masyarakat Aceh pun tak terlepas dari stigma negatif ini. Kesan ini tentunya bukan tanpa sebab. Para pengusaha sering menyitir bahwa salah satu sebab investor enggan berinvestasi di Aceh adalah karena adanya stigma bahwa orang Aceh itu pemalas. Selain itu, ada juga peneliti yang mengeluhkan rendahnya etos kerja petani Aceh.
Menurutnya, banyak petani Aceh disibukkan oleh pesta pascapanen. Akibatnya, kegiatan cocok tanam sering tertunda. Karena itu, sang peneliti menyarankan agar masa istirahat pascapanen yang relatif lama dapat digunakan untuk menanam palawija, seperti kedelai benih unggul. Stigma bahwa orang Aceh itu pemalas secara implisit telah memengaruhi cara pandang pengusaha Aceh sendiri.
Cara pandang ini ditandai dengan kecenderungan mereka mendatangkan pekerja dari luar Aceh daripada mempekerjakan orang Aceh sendiri, terutama untuk pembangunan fisik gedung.
Fakta bahwa Aceh termasuk ke dalam rangking sepuluh besar sebagai provinsi termiskin di Indonesia seakan – akan semakin menegaskan predikat malas bagi sebagian orang Aceh karena orang seringkali mengaitkan kemalasan sebagai pangkal kemiskinan walaupun kondisi kemiskinan suatu daerah itu sesungguhnya tidak bisa dilihat dari salah satu sebab saja melainkan juga dari faktor – faktor lain seperti politik, sosial, ekonomi, pendidikan, keamanan, dan lain sebagainya.
Kendatipun begitu, perihal rajin dan malas itu tidaklah menjadi monopoli etnis tertentu. Pernyataan-pernyataan di atas menarik dicermati, karena pada era 1950 – 1970 an perekonomian Kota Medan Sumatera Utara, misalnya, justru didominasi pedagang beretnis Aceh, terutama di bawah korporasi Aceh Sepakat dan Aceh Kongsi. Selain itu, beberapa perkebunan sawit dan karet di Langkat dan Tebing Tinggi merupakan milik orang Aceh dengan pekerja sebagian besar orang Aceh.
Syariat Islam yang diberlakukan di Aceh seyogyanya menjadi pedoman bagi seluruh rakyat Aceh dalam bersikap atau bertindak dalam kegiatan sehari – hari baik dalam belajar maupun bekerja karena Islam telah mengajarkan orang Aceh yang mayoritas pemeluk agama Islam untuk menjauhi sifat malas.
Sifat malas atau senang menunda-nunda merupakan pintu keburukan dan hanya pantas disandingkan dengan keburukan. Berbagai contohnya antara lain: menunda shalat adalah ciri kemunafikan, menunda amanah adalah pintu pengkhianatan, menunda sedekah atau membayar hutang bagi yang mampu adalah kezhaliman dan menunda taubat adalah kebodohan.
Sebagaimana kisah seseorang di dalam kubur, orang yang bermalas-malasan dalam menjalankan ketaatan kelak akan ditemani oleh amal buruknya yang menampakkan diri dalam bentuk makhluk buruk rupa, busuk baunya dan kumal bajunya, ketika penghuni kubur bertanya siapa engkau ini? Ia menjawab,
“Aku adalah amalan burukmu, kamu dahulu berlambat-lambat dalam mentaati Allah dan bersegera dalam bermaksiat kepada Allah, maka Allah membalasmu dengan keburukan.” (HR. Abu Dawud dan al-Hakim)
Selanjutnya orang tersebut dipukul dengan tongkat besi hingga ia menjadi debu kemudian dikembalikan lagi menjadi semula oleh Allah azza wa jalla, kemudian dipukul lagi sehingga ia berteriak dengan satu teriakan yang didengar oleh semua makhluk di muka bumi kecuali oleh jin dan manusia.
Malas Memiliki dampak yang beraneka ragam. Secara rinci, dampak tersebut tergantung pada jenis aktivitas yang diisi dengan kemalasan. Malas belajar dan berpikir menyebabkan kebodohan yang akan dirasakan pahitnya sepanjang hayat. Bodoh dalam hal kemaslahatan duniawi itu musibah, bodoh dalam urusan agama, lebih fatal lagi musibahnya.
Setan akan mempermainkan orang yang bodoh layaknya anak kecil memainkan bolanya. Kebodohan adalah gerbang utama setan untuk menggoda manusia. Jika pintu ini terbuka, setan tak perlu susah-susah mencari pintu yang lain. Dengan mudah dia akan digelincirkan, karena dia tidak bisa membedakan yang baik dan yang buruk, yang utama dan yang hina, yang sunnah dan yang bid’ah. Bisa jadi dia merasa telah berbuat sebaik-baiknya, padahal apa yang dilakukan hanyalah kesesatan.
Malas bekerja untuk mencari ma’isyah adalah pangkal dari kemiskinan. Karena rizki harus diupayakan secara hissiyah, yakni ikhtiyar jasmani, di samping cara-ruhani seperti tawakal, taqwa, silaturahim dan lain-lain. Perhatikanlah firman Allah,
“Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. al-Jumu’ah: 10)
Maka orang yang malas bekerja, dia menyalahi sunnah kauniyah dan sunnah syar’iyyah dalam hal mencari rizki. Sebagai akibatnya, ia akan terhalang untuk mendapatkan rizki yang baik. Bahkan sifat malas jika dimiliki oleh orang yang ‘encer’ otaknya, dampak yang timbul semakin besar.
Perpaduan antara ‘kecerdasan’ dan kemalasan membuahkan sifat buruk yang bernama licik. Sifat malas mendorongnya untuk mendapatkan sesuatu tanpa bersusah payah. Banyak kasus kriminal yang didalangi oleh orang yang licik, malas bekerja keras tapi ingin mendapatkan hasil dengan memotong kompas, meski harus merampas hak orang lain.
Jika sifat malas menjadi penyebab kerugian dan kegagalan di dunia maupun akhirat, maka sifat rajin dan kesungguhan adalah pangkal dari kesuksesan dan kebahagiaan.
Jannah yang merupakan puncak kenikmatan juga diperuntukkan bagi orang-orang yang antusias mengejarnya. Derajat yang tinggi di dalamnya juga tergantung antusias seseorang dalam menjalankan ketaatan. Syeikh As-Sa’di ketika menjelaskan firman Allah,
“Berlomba-lombalah kalian dalam kebajikan” (Qs. al-Baqarah: 148)
Beliau mengatakan, “Perintah berlomba-lomba atau bersegera dalam kebajikan merupakan perintah tambahan selain perintah melaksanakannya. Perintah ini mencakup mengerjakan perintah tersebut dengan sesempurna mungkin, dalam segala keadaan dan bersegera dalam menunaikannya. Barang siapa yang berlomba-lomba dalam kebaikan di dunia, maka kelak di Hari Kiamat dia akan menjadi orang pertama yang masuk ke dalam jannah, dan merekalah orang yang paling tinggi kedudukannya.” Semoga Allah melindungi kita dari kelemahan dan kemalasan.
*) Khatib Kepala Biro Administrasi Umum, Perencanaan dan Keuangan UIN Ar-Raniry Banda Aceh