Siang hari nan panas di Komplek Keistimewaan Aceh, Jeulingke, tampak gedung yang enak mata memandangnya. Bangunan kokoh dua lantai itu adalah Gedung MAA (Majelis Adat Aceh), terlihat warna bangunan dicat merah, kuning, dan hijau, yang melambangkan warna keacehan.
Hari itu, Rabu, (11/1/2023), waktu menunjukkan pukul dua siang, membuat panas matahari menyinari terasa menyengat di badan. Dengan berat langkah dan sedikit berat, kami telusuri halaman dan ruang dalam gedung itu. Begitu sampai lobby, udara sepoi-sepoi begitu terasa, ketika kami bertemu dengan petugas konter, Khairuddin.
Dengan ramah dia mengajak kami berkeliling kantor MAA. Dari ruang pemangku adat, di situ adat keacehan langsung terasa. Ada pelaminan dan teudong dalong, yang biasa dipakai pada acara peresmian pernikahan.
Tidak hanya di situ, kami lanjutkan melihat mushalla yang bersih dan suci, lalu menuju ruang Ketua MAA, dan terus ke lantai dua melihat beragam pelaminan khas kabupaten/kota seluruh Aceh. Ada pelaminan Aceh Besar, Aceh Selatan, Aceh Utara, dan daerah lain. “Ada sembilan pelaminan,” kata Khairuddin.
Semua ruangan berseni keacehan, sejuk dan damai, terutama bagi pemangku adat dalam memikirkan adat dan kebudayaan Aceh. Tidak hanya itu, ternyata di kantor MAA juga tersedia perspustakaan yang tersedia lumayan banyak koleksi buku. Tersedia buku tema keacehan, keislaman, hukum adat, sejarah, ensiklopi dan buku lainnya. Buku-buku tersebut diberi kesempatan masyarakat meminjamnya, dengan syarat membawa KTP asli.
Sejarah dan Peran MAA
MAA dibentuk berdasarkan UU Nomor 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh dan Qanun Nomor 3 tahun 2004 tentang Pembentukan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja MAA Nanggroe Aceh Darussalam. MAA dibentuk berdasarkan kesepakatan Kongres Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA) tanggal 25-27 September 2002. Keputusan pertama dikeluarkan oleh Gubernur Aceh Abdullah Puteh pada 8 Januari 2003 dengan mengangkat Ketua Dr Hakim Nyak Pha.
Menurut Ketua Pemangku Adat MAA,
, sejak dibentuk dengan nama LAKA sampai sekarang MAA tetap eksis. Hal ini ditandai dengan keberadaan MAA kabupaten/kota di seluruh Aceh.
Menurut dia, program utama MAA, sesuai tugas pokok dan fungsisnya adalah pembina lembaga-lembaga adat lainnya, juga membina dan mengembangkan adat dan adat istiadat berdasarkan keislaman. Sesuai Qanun Aceh Nomor 8 tahun 2009 pembinaan dan pengembangan adat istiadat meliputi, tatanan adat dan istiadat, arsitektur Aceh, dan ukiran-ukiran bermotifkan Aceh.
Pembinaan dan pengembangan adat istiadat lainnya meliputi, cagar budaya, kesenian tradisional, adat kehidupan seharai-hari seperti perkawinan, pergaulan, bertamu, menerima tamu, adat berusaha, pakaian adat, kerajinan bermotif Aceh, kesenian aceh, serta upacara adat lainnya.
“Semua adat istiadat dari sebelum tidur, bangun tidur, aktivitas keseharian, sampai masuk kubur semua dijalankan sesuai adat istiadat Aceh berdasarkan ajaran Islam,” tegas Abdul Hadi.
Dia menambahkan, MAA dan Wali Nanggroe berkaitan erat dari segi adat Aceh sebagai perwujudan kehendak UU Nomor 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh. “Tugas-tugas menyangkut adat istiadat dilaksanakan oleh MAA, sementara Wali Nanggroe sebagai pemimpin adat dan membina lembaga-lembaga adat yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh MAA,” ujarnya.
Sementara dari segi legalitas MAA, katanya, dilaksanakan berdasarkan Qanun Aceh Nomor 8 tahun 2019 tentang MAA, sementara keabsahan kepengurusan MAA Provinsi pengukuhannya dilakukan oleh Wali Nanggroe. Secara organisasi kepengurusan MAA sekarang disahkan berdasarkan Keputusan Gubernur Aceh Nomor 821.29/1191/2021 tentang Penetapan Pengurus Majelis Adat Aceh Masa Bakti 2021-2026.
Sementara itu, budayawan Aceh, Nab Bahany As mengatakan, program-program MAA belum maksimal dilaksanakan, sebab anggaran MAA tingkat provinsi dan kabupaten/kota sangat terbatas. Anggaran habis untuk belanja pegawai dan operasional kantor, sedangkan untuk pelaksanaan program sangat terbatas. “Karena kondisinya demikian, mungkin tidak bisa kita tuntut lebih kinerja MAA,” ujarnya.
Lembaga Adat
H Badruzzaman Ismail SH MHum dalam bukunya Sistem Budaya Adat Aceh dalam Membangun Kesejahteraan, menulis, bahwa pemangku adat adalah orang yang memegang jabatan atau menjadi wakil untuk melakukan jabatan, pengelola, dan penyelenggara lembaga adat. Pemangku adat juga orang yang mewakili, pemimpin, dan ketua-ketua adat yang memimpin dan mengelola lembaga-lembaga adat.
Ada dua kelompok kelembagaan adat, yaitu pertama lembaga adat yang meliputi urusan pemerintahan, kamtibnas, sosial, politik dan budaya, yaitu gampong yang dipimpin oleh keusyik dan mukim, yang dipimpin oleh imeum mukim selaku pemangku adat. Juga imum chik dan imum meunasah yang memimpin bidang agama.
Lembaga kedua adalah lembaga yang mengelola bidang kesejahteraan rakyat, pertama Keujruen Blang yaitu ketua adat yang membantu pimpinan gampong dalam urusan pengaturan irigasi pertanian. Dua, Panglima Laot, ketua adat yang memimpin urusan bidang pengaturan penangkapan ikan di laut atau sengketa laot. Ketiga, Petua Seuneubok, ketua adat yang mengatur tentang pembukaan hutan atau perladangan dan perkebunan pada wilayah gunung atau sengketa seuneubok.
Keempat, Haria Peukan, pejabat adat yang mengatur ketertiban, kebersihan dan pengutipan retribusi pasar. Kelima, Syahbandar, pejabat adat yang mengatur urusan tambatan kapal atau perahu, lalu lintas angkutan laut, sungai dan dana.
Badruzzaman menulis, bahwa UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh, pasal 98 ayat (3) memberikan legalitas formal kepada lembaga adat, imeum chik, pembina bidang agama pada tingkat mukim, pawang gle, tuha lapan dan MAA, sehingga seluruhnya menjadi tiga belas lembaga adat yaitu MAA, keuchik, tuha peut, imum meunasah, imum mukim, imum chik, tuha peut mukim, tuha lapan, keujruen blang, panglima laot, peutua seuneubok, pawang gle, serta haria peukan. – Nurjannah Usman dan Sayed M Husen