Masjid Raya Baiturrahman (MRB) merupakan salah satu tempat terfavorit untuk melaksanakan aqad nikah. Masjid indah ini tetap menjadi pilihan utama bagi calon pengantin berdomisili di Banda Aceh dan Aceh Besar dalam mengucapkan ikrar janji suci.
Agar terdaftar menikah di masjid kebanggaan rakyat Aceh ini perlu dilakukan jauh hari sebelumnya. Tetapi banyak pendaftar tidak dapat difasilitasi, karena sesi pernikahan di MRB memang dibatasi.
Peristiwa bersejarah bagi para pejuang pemenuhan sebagian dinul Islam dan keluarga lumrah dan pasti ingin diabadikan berupa dokumentasi, baik berupa foto atau video. Namun kini, pelaksanaan serangkaian prosesi pernikahan di MRB tidak bisa diabadikan keseluruhan.
Ada kebijakan baru dikeluarkan Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Pengelola MRB dengan berbagai pertimbangan. Dokumentasi hanya diperbolehkan saat awal seperti pembukaan oleh MC, pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an, penyerahan mahar, khutbah nikah, pembacaan ijab qabul, penandatanganan administrasi pernikahan, hingga do’a dan penutup.
Kasubbag Tata Usaha UPTD Pengelola MRB, Saifan Nur SAg MSi, menyebutkan, pihaknya sudah menyampaikan perihal tersebut kepada calon pengantin atau keluarga saat mendaftarkan diri untuk menikah di MRB.
“Beberapa poin ketetapan sudah tertera dalam surat pernyataan untuk dipatuhi kedua calon mempelai perempuan dan laki-laki,” sebut Saifan.
Di antara ketentuan penting itu beberapa hal guna memenuhi disiplin protkes Covid-19 yang belum diperbarui. Disebutkan juga, pada poin keenam, tidak diizinkan berfoto di shaf shalat laki-laki sekitar mimbar. Sedangkan ketujuh, berfoto sebatas prosesi acara pernikahan saja.
Pihak UPTD Pengelola MRB menugaskan Abdur Rahman dan Anwar Ridha, keduanya adalah khadam MRB yang akan mengawasi dan menertibkan kebijakan ini.
Menurut Abdur Rahman, sebelumnya acara utama pernikahan, hanya fotografer atau videografer yang hilir mudik mengambil dokumen. Pemeran utama, saksi, petugas lain hening dan duduk khidmad, sesekali suara tawa terdengar bila ada khutbah nikah yang terdengar lucu.
Lalu, suasana tak terkendali saat kerabat dan undangan bersalaman dan menyampaikan ucapan selamat masing-masing pengantin. Terlebih saat melihat dan menunggu giliran untuk berfoto bersama pengantin, seakan tidak sadar sedang di dalam masjid.
Tugas Abdur Rahman dan Anwar Ridha merasa terbantu, sebab sebelum pasangan sesudah prosesi pernikahan, MC menyampaikan bahwa tidak dibolehkan sesi foto di akhir acara di dalam masjid, karena mengganggu jamaah yang sedang i’tikaf. “Sebelum ditutup acara pernikahan, protokoler memberitahukan tidak ada bersalaman dengan pengantin dan juga tidak dibenarkan foto setelah pernikahan,” kata Anwar.
Sambutan positif
Ketua Organisasi Foto Amatir Baiturrahman (OFAB), Syamsul Kamal, mengatakan dapat dimengertinya kebijakan pembatasan pemotretan tersebut. “Sebenarnya beberapa sesi dalam acara sakral pernikahan memang perlu diabadikan, tetapi tetap menjaga etika pemotretan apalagi areanya tempat suci, rasanya kurang elok kalau ada pengarahan gaya terlalu berlebihan di dalam masjid,” katanya.
Saat acara berlangsung, UPTD Pengelola MRB harus menunjuk petugas yang bisa berkomunikasi dengan baik dan bisa mengarahkan fotografer untuk bekerja sesuai dengan yang sudah disepakati. “Kita menghindari sesi pemotretan yang gaduh dan gaya yang kurang etis dalam rumah ibadah, jangan sampai pihak UPTD menurunkan petugasnya justru lebih gaduh,” kata Syamsul.
Menurut dia, dalam mengurangi gesekan, saat calon pengantin atau kerabat pengantin datang mendaftar untuk melangsungkan acara nikah di MRB, adalah kesempatan menyampaikan aturan pemotretan di area MRB.
“Momen foto pernikahan adalah kebutuhan, silakan foto tapi harus mentaati aturan yang ditetapkan UPTD Pengelola MRB,” tutupnya.
Saifan Nur menambahkan, pemotretan sebagai kenangan bagi “Pengantin Baru” yang menikah di MRB tetap diperkenankan. “Silakan mengambil obyek dan subyek dokumentasi di area shaf perempuan dengan waktu dibatasi lima menit,” katanya.
Pasangan pengantin dan fotografer dapat melanjutkan sesi pemotretan di halaman MRB, tetapi fotografer dan pengantin bisa saja sepakat mengambil lokasi di tempat lain, bila dianggap perlu adegan romantisme. Toh mereka sudah sah sebagai suami isteri.
Pelarangan memoto masih ada alasan lain, bahwa jadwal aqad nikah pasangan lain yang setelahnya akan terganggu. Sebab pemotretan biasanya berlangsung lama sementara pernikahan pasangan lainnya harus berjalan sesuai jadwal.
Ketidaktertiban, kebebasan berbicara dan tawa berlebihan di MRB tentu akan mengganggu ibadah lainnya, sebab MRB seakan tidak pernah berhenti, selalu ada jamaah yang shalat sunnah, dhuha, membaca Al-Quran, i’tikaf dan ibadah lainnya.
Petugas khusus pun dalam penertiban foto, harus mudah dikenali, karena itu petugas perlu dilengkapi dengan identitas dan uniform, agar mudah dibedakan dengan pihak lain. –NA Riya Ison, editor: smh