Prof. Dr. Tgk. H. Azman Ismail, MA (Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman)
Katakanlah: “Allah menyelamatkan kamu dari pada bencana itu dan dari segala macam kesusahan, kemudian kamu kembali mempersekutukan. Katakanlah: “Dia-lah yang berkuasa untuk mengirimkan azab kepadamu, dari atas kamu atau dari bawah kakimu atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan (pada sebahagian) kamu keganasan sebahagian yang lain. Perhatikanlah, betapa Kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti agar mereka memahaminya” (QS. Al-Anam ayat 64-65).
Pada ayat sebelumnya Allah Swt memberikan pertanyaan kepada manusia tentang bencana yang mungkin dihadapi manusia dalam kehidupan di dunia, baik bencana yang terjadi saat manusia berada di darat maupun bencana saat manusia berada di laut atau dimanapun di seluruh penjuru bumi ini dan bagaimana seharusnya mensyukurinya. Pada ayat ini Allah Swt memastikan jawaban tentang siapakah yang Maha Penyelamat. Pada penggalan ayat pertama Allah Swt mengatakan kepada kita akan jangan ragu-ragu mengatakan bahwa Dia Sang Maha Penyelamat. Tak ada keselamatan bagi sehelai bulupun dan luruhnya, kecuali dalam pantauan-Nya. Terlebih lagi pada peristiwa yang bersifat bencana. Semuanya berada dalam genggaman Sang Pencipta takdir alam semesta.
Azab yang diturunkan Allah Swt bersifat silih berganti, tanpa henti dan tak dapat dikendalikan dengan kemampuan pikiran manusia. Kadang-kadang azab Allah Swt tak terdeteksi dari manakah asalnya. Para scientist atau ilmuan, meskipun dapat memprediksi secara ilmu alam tentang kebencanaan, tapi itu tidaklah terlepas dari masalah kesyukuran dan kekufuran. Allah menyatakan bahwa kesyukuran-lah yang menyebabkan azab itu tidak turun pada kehidupan manusia. Semasih ada manusia atau kaum masih enggan bersyukur, maka azab Allah tidak akan berhenti mendera.
Pemahaman terhadap azab, bukanlah cuma mencakup masalah kematian, kehancuran, kebinasaan, dan hal-hal destruktif yang bersifat materil, namun pemahaman terhadap azab juga berefek kepada halhal yang bersifat psikis, gangguan kesehatan, mental dan hubungan interaksi sosial. Berapa banyak orang diantara kita yang memiliki harta berlimpah, namun hidupnya tidak tenang? Memiliki perusahaan dan sebagainya, tetapi sakit-sakitan dan berbagai hal yang tidak menyenangkan.
Marilah berintrospeksi terhadap keadaan kita. Jika kita merasa bahwa kesyukuran kita sudah cukup, namun bala dan kesusahan masih saja menimpa kita, itu berarti Allah Swt telah mempersiapkan hal lain yang lebih baik bagi kita dengan cara memberikan ujian. Namun bila kesyukuran kita ternyata tak sebanding dengan nikmat, maka tentulah ‘azab’ Allah dalam bentuk bencana dan malapetaka akan silih berganti mendatangi kita. Kehidupan sosial yang goncang, hubungan kerabat yang retak serta jiwa yang tidak tenang, adalah sekian banyak dimensi ‘azab’ yang seharusnya kita maknai wujudnya.
Di akhir ayat, Allah masih memberikan kesempatan kepada kita untuk bertafakkur, dan mengambil i’tibar serta introspeksi diri dari peristiwa yang terjadi, agar tidak terulang di kemudian hari. Demikianlah, Maha Pengasih dan Penyayangnya Allah, masih memberikan kepada kita waktu untuk bermuhasabah. Wallahu musta’an