Gema JUMAT, 5 Februari 2016
oleh : Sayed Muhammad Husen
Dayah atau pesantren dikenal membasis di Aceh. Artinya, lembaga pendidikan ini sudah dikenal sepanjang sejarah pendidikan di Aceh. Dayah benar-benar eksis ditengah masyarakat. Peran dayah dalam mencerdaskan ummat diakui banyak pihak. Alumni dayah tradisional dan modern telah berbakti hampir pada semua sektor kehidupan.
Jumlah dayah yang terakreditasi pada Badan Pembinaan Pendidikan Dayah (BPPD) Aceh tahun 2011 sebanyak 517 unit, terdiri dari 411 dayah salafi dan 106 dayah modern. Jumlah teungku, ustadz atau guru 17.569 orang dan santri 167.791 orang. Jumlah ini terus bertambah setiap tahun, seiring meningkatnya minat masyarakat memilih pendidikan dayah.
Biaya operasional dayah mengandalkan keswadayaan masyarakat dalam bentuk waqaf, infaq, sedekah dan bahkan dalam bentuk zakat, sehingga dayah dikenal mandiri secara ekonomi. Mampu membiayai dirinya sendiri. Santripun diajarkan mandiri, bisa hidup dengan keterampilan yang dimiliki. Tidak bergantung pada pemerintah.
Peran negara dalam membiayai dayah mulai terlihat pada era syariat Islam (2002). Pada waktu itu, dibentuk Subdin Dayah pada Dinas Pendidikan yang kemudian berlanjut dengan pembentukan BPPD. Karena itulah dayah setiap tahun mendapat kucuran dana APBA untuk berbagai program dan kegiatan pengembangan dayah.
Namun, seperti diberitakan Serambi, Sekjend Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA), Tgk H Tu Bulqaini Tanjungan, memprotes minimnya anggaran dayah di Aceh yang dialokasikan Pemerintah Aceh melaui BPPD. Anggaran Rp 130 miliar dianggap tidak memadai untuk mengurus dayah-dayah di Aceh.
Dalam hal ini, kita berpendapat, dayah seharusnya dikembalikan kepada wataknya, yang mengandalkan pembiayaan dari swadaya masyarakat. Dayah dapat memperkuat penggalangan dana masyarakat dari sumber infaq, sedekah dan waqaf. Tentu saja penggalangan ini dilakukan dengan cara-cara modern dan canggih.
Kita mengapresiasi masyarakat yang mempercayai anakanak mereka belajar pada dayah modern dengan membayar biaya pembangunan dan SPP bulanan. Ini salah satu bentuk kontribusi masyarakat dalam memajukan pendidikan dayah. Jadi bisa saja dayah trasisional membebani masyarakat untuk menanggung bersama biaya pendidikan santri.
Pola ideal membiayai dayah sebenarnya dengan memadukan dukungan anggaran pemerintah dan swadaya masyarakat. Dengan pola ini seluruh biaya yang dibutuhkan untuk pembangunan dan operasional terpenuhi, tentu dengan tidak “mematikan” partisipasi masyarakat.