Banyaknya masyarakat Indonesia terpengaruh budaya barat mengikis nilai luhur bangsa. Sehingga identitas bangsa ini tenggelam. Diperparah dengan kondisi dunia pendidikan remaja yang hanyut dalam dunia hitam seperti narkoba dan seks bebas.
Situasi ini menyulitkan Indonesia melahirkan generasi yang cerdas, bijaksana, berbudi pekerti luhur, berderajat mulia dan taat kepada Allah. Demi membangun karakter bangsa seperti itu membutuhkan peran sastra yang optimal.
Direktur Sekolah Islam Athirah, Edi Sutarto, menjelaskan, sastra menjadi salah satu media yang efektif menumbuhkan nilai-nilai positif kepada setiap individu manusia. Sastra tidak hanya berbicara mengenai etika dan moral, melainkan hubungan manusia dengan tuhan. Semestinya, sekolah sebagai lembaga pendidikan menerapkan pembelajaran sastra secara tepat.
Tiga cara membumikan sastra di sekolah menurut Edi yaitu, membuat kebijakan, menjadikan contoh, dan wajib mengutip karya sastra. Sekolah berhak membuat kebijakan bagaimana cara pengaplikasian sastra di sekolah. Bagi setiap guru Bahasa Indonesia mewajibkan siswanya membacakan kutipan sastra, seperti satu bait puisi karya Chairil Anwar. Sebagai password untuk mengikuti proses belajar dan mengajar.
“Selain guru sastra, guru lain di sekolah harus mengetahui sastra. Apakah itu guru biologi, fisika, matematika, dan sebagainya,”katanya saat mengisi Seminar Nasional Pendidikan “Sastra Bangun Karakter Bangsa” di Gedung Balaikota Banda Aceh beberapa waktu lalu.
Sistem yang ia berlakukan untuk menumbuhkan minat sastra kepada siswa di sekolahnya yakni bedah buku, membuat komunitas sastra, mempublikasikan karya sastra siswa, mengenalkan sastra dengan cara yang mereka suka, musikalisasi puisi, pementasan drama, lomba membuat mading dan menjadikan pimpinan serta guru berkarya sebagai contoh.
Ia menambahkan, semangat yang terkandung dalam sastra bisa membentuk seseorang menjadi pemimpin. Misalnya Raden Soekemi Sosrodihardjo yang mendidik Presiden Indonesia Soekarno melalui buku-buku sastra semenjak anak-anak.
“Pada masa orde baru perjalanan sastra Indonesia sangat kaku,”ucap penulis Pemimpin Cinta ini.
Turut hadir dalam seminar ini pendiri Forum Lingkar Pena (FLP) Helvy Tiana Rosa, Ketua FLP Aceh Rahmatul Fitriadi, anggota DPRK Banda Aceh Irwansyah, guru, dan puluhan peserta lainnya.
Helvy menegaskan bahwa tokoh fiksi dalam sastra tidak bisa diremehkan. Karena mampu mempengaruhi pembacanya. Bahkan sanggup mengubah dunia. Sehingga, suatu bangsa membutuhkan sastra yang mencerdaskan dan membangun karakter.
“Melalui sastra, secara tidak langsung anak-anak memiliki perilaku dan kebiasaan positif melalui proses apresiasi dan berkreasi melalui sastra,”pungkas penulis Mata Ketiga Cinta yang menyabet prestasi best seller ini.
Menurutnya, dengan menulis karya sastra, kreatifitas siswa akan meningkat. Mereka bisa berimajinasi sesuai yang mereka inginkan. Keuntungan lain yang diperoleh dengan pembelajaran sastra seperti meluaskan cakrawala pikiran, kemampuan bertutur meningkat, kepercayaan diri menguat, dan kepekaan etik dan estetik yang tajam.
Seseorang dapat memperoleh kesenangan dengan sastra. Serta memperoleh kesadaran yang lebih baik terhadap diri sendiri, orang lain, dan kehidupan. Selain itu sastra menjadi alternatif seseorang untuk berpikir dewasa dan mengerti terhadap keberagaman budaya.
Hal senada disampaikan oleh Irwansyah. Menurutnya, sastra menjadi intrumen membangun moral bangsa, khususnya Aceh. Dulu Aceh memiliki banyak penyair handal untuk menabuh semangat perjuangan melawan Belanda. “Kita butuh orang yang kreatif yang memiliki banyak ide dalam sastra,”tuturnya. Zulfurqan