GEMA JUMAT, 02 MARET 2018
Oleh. Dr. TGH. Muhammad Zainul Majdi, M.A
Suatu hari seseorang datang kepada Khalifah Umar bin Khattab. Kepada sang Khalifah orang itu berkata, “wahai Amirul Mu`minin, mari, ikutlah bersamaku. Bantulah aku dalam menghadapi dan melawan orang yang telah menganiaya dan menzhalimiku”. Saat itu Khalifah Umar sedang sibuk dengan satu urusan. Karena merasa terganggu, seketika ia angkat cambuk yang ada di tangannya, dan secara perlahan dia tempelkan dan pukulkan ke kepala orang itu sambil berkata, “kamu selalu panggil Amirul Mu`minin, padahal ia selalu menjumpaimu, dan tidak ada apa-apa. Tetapi di saat ia sedang sibuk kamu ganggu ia dengan selalu minta tolong … minta tolong ….”. Orang itu pun pergi meninggalkan tempat dengan rasa kesal dan marah karena tidak dilayani oleh Khalifah Umar. Sayyiduna Umar pun merasa bersalah, lalu ia panggil orang itu. Cambuk yang ada di tangannya pun ia berikan, sambil berkata, “ambillah, dan balas pukul seperti yang aku telah lakukan padamu”. Orang itu menjawab, “tidak, demi Allah tidak, saya serahkan saja sepenuhnya kepada Allah untuk membalas perbuatanmu”. Pergilah ia. Mendengar jawaban orang itu, Umar pun kembali ke rumahnya, dan salat dua rakaat. Selesai salat ia duduk termenung, sambil berkata-kata di dalam hatinya,
“Wahai Umar bin Khattab, dulu kamu dalam keadaan rendah, lalu Allah angkat derajatmu. Dulu engkau sesat, lalu Allah berimu petunjuk. Dulu engkau terhina, lalu Allah muliakanmu dengan memberimu amanah kekuasaan. Tetapi, ketika ada yang mengadukan permasalahannya padamu, lalu kamu abaikan dan aniaya ia. Apa yang akan kau katakan nanti di hadapan Tuhanmu, wahai Umar?”
Kalimat pertanyaan inilah yang selalu terngiang-ngiang dalam hati dan pikiran seorang Umar bin Khattab, sehingga Umar berubah dari sosok yang dikenal keras, tegas dan berhati baja, menjadi seorang yang penuh kasih dan lembut hati menghadapi penderitaan orang. Siapa yang menyangka, Khalifah Umar yang dikenal gagah perkasa, ditakuti oleh musuh, bahkan setan pun –dikabarkan dalam satu riwayat– menghindar takut dari Umar, adalah orang mudah terharu dan bercucuran air mata, sampai-sampai aliran air matanya itu membekas di wajahnya. Bahkan ketika ada seseorang yang membacakan ayat inna adzaaba rabbika lawaaqi` (seseungguhnya adab Tuhannya pasti akan datang), Umar pun pingsan tak kuasa membayangkan derita yang diakibatkan adzab tersebut.
Kalimat pertanyaan inilah, madza taquulu lirabbika ghadan ya Umar, yang membuat Khalifah Umar bekerja siang-malam mengabdi untuk rakyat. Tidak segan-segan ia melakukan sidak di pasar, melakukan ronda malam untuk memastikan keamanan kota, atau yang dikenal dengan al-jasas. Pada masa kepemimpinan Umar lah dibentuk pertama kali institusi aparat penegak hukum yang disebut wilaayatul hisbah, untuk menjamin penegakan hukum dan rasa keadilan.
Kalimat pertanyaan inilah yang membuat Khalifah Umar peduli kepada semua, termasuk kepada binatang. Ungkapannya yang sangat populer, “sekiranya ada seeokor unta mati sia-sia, karena tidak terurus, di pinggiran sungai Euphrat yang sangat jauh sekali dari Madinah, saya takut itu akan dimintakan pertanggjawabannya kepada saya di Hari Kiamat”. Dalam riwayat yang lain disebutkan, “sekiranya ada seekor keledai yang tersesat dan tergelincir kakinya di Irak, pasti di akhirat nanti saya akan ditanya, mengapa tidak kau siapkan jalan yang baik untuk keledai. Mengapa tidak kau bangun infrastruktur yang baik untuk rakyatmu, termasuk binatang.
Kalimat tanya itu terkesan sederhana, tetapi di balik itu tersimpan makna yang dalam, karena lahir dari rasa tanggung jawab atas amanah yang diberikan oleh Allah. Kalimat tanya ini penting untuk selalu direnungkan, sebab kita semua adalah pemimpin. Kullukum raa`in ……. Kita adalah pemimpin dalam keluarga, di lingkungan kerja dan sebagainya. Apa yang akan kita katakan di hadapan Tuhan, ketika mendapat pertanyaan, “digunakan untuk apa umur dalam hidup ini”, “dari mana didapat dan ke mana disalurkan harta yang telah dititipkan oleh Allah”.
Kalimat tanya ini penting untuk selalu dicamkan, sebab dalam beberapa hari ke depan, rakyat Indonesia di beberapa wilayah akan melakukan pemilihan kepala daerah. Kita tentu merindukan pemimpin yang memiliki rasa tanggung jawab, berintegritas; jujur dan adil, sehingga dapat menghantarkan masyarakat kepada kesejahteraan yang diidam-idamkan.
Kepemimpinan dalam pandangan Islam bukan sekadar kontrak sosial atau kontrak politik antara sang pemimpin dengan masyarakat, atau calon kepala daerah dengan konstituen atau partai politik, tetapi juga merupakan ikatan perjanjian antara dia dengan Allah Swt. Atau dengan kata lain, kepemimpinan adalah amanat dari Allah, yang tidak semua orang bisa mengembannya. Karena itu, ketika sahabat Nabi Abu Dzar meminta suatu jabatan, Nabi bersabda, “Kamu lemah, dan ini adalah amanah sekaligus dapat menjadi sebab kenistaan dan penyesalan di hari kemudian (bila disia-siakan)”. Nabi tahu, Abu Dzar adalah orang baik, tetapi lemah dalam manajemen pengelolaan.
Dalam hadis yang lain Rasulullah mengingatkan agar berhati-hati dalam memperoleh atau mendapatkan kekuasaan.
Wahai Abdurrahman bin Samurah, jangan minta jabatan atau kekuasaan. Jika jabatan itu didapat karena engkau memintanya, maka Allah akan membiarkanmu mengurus itu sendirian. Tetapi jika kau peroleh tanpa meminta, maka engkau akan dibantu dengan cara Allah menyediakan orang-orang baik yang akan menolongmu.
Kepemimpinan bukanlah keistimewaan, tetapi tanggung jawab. Kepemimpinan adalah keteladanan berbuat dan kepeloporan bertindak. Alquran menggunakan dua istilah untuk menunjuk pemimpin; imâm dan khalîfah. Kata imâm terambil dari amma-ya`ummu yang berarti menuju, mengikuti dan meneladani. Sedangkan kata khalîfah berakar dari kata khalafa yang pada mulanya berarti ‘belakang’. Khalifah sering diartikan sebagai pengganti, karena yang menggantikan selalu di belakang, atau datang sesudah yang digantikannya. Makna ini memberi kesan, bahwa seorang pemimpin sekali berada di depan menjadi panutan (Ing ngarso sung tulodo), dan lain kali di belakang untuk mendorong sekaligus mengikuti kehendak dan arah yang dituju oleh yang dipimpinnya (tut wuri handayani).
QS.Al-Baqarah 124 menjelaskan tentang pengangkatan Nabi Ibrahim sebagai imam/pemimpin. Innii jaa`iluka linnaasi imaaman (aku akan mengangkat engkau sebagai pemimpin). Mendengar hal itu Nabi Ibrahim bermohon agar kehormatan ini juga diperoleh pula oleh anak cucunya. Akan tetapi Allah menggariskan suatu syarat, yaitu, qaala la yanaalu ahdizzalimiin (perjanjianku ini tidak diperoleh orang-orang yang berlaku aniaya). Ayat ini memberi pesan bahwa kepemimpinan itu adalah ikatan perjanjian antara pemimpin dengan Allah Swt, dan karena kepemimpinan itu tidak diberikan kepada yang zalim, maka kepemimpinan menuntut keadilan.
Keadilan itu harus dirasakan oleh semua pihak, baik kawan maupun lawan. Kebencian terhadap seseorang atau kelompok orang tidak boleh menjadi penghalang untuk tidak berlaku adil. Nabi Ibrahim pernah berdoa, Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa, dan anugerahkanlah rezeki berupa buah-buahan untuk penduduknya yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian”. Menjawab doa itu, Allah berfirman, “Dan kepada orang kafir pun Aku beri kesenangan sementara (di dunia), kemudian di Akhirat Aku paksa ia menjalani siksa neraka”.
Keadilan harus diberikan secara merata, tanpa pilih kasih, tanpa tebang pilih. Hanya pemimpin yang memiliki komitmen tinggi dan rasa tanggung jawab di hadapan Allah dan rakyatnya yang bisa mengantarakan masyarakat ke pintu gerbang kebahagiaan. Rasa tanggung jawab di hadapan Allah akan menggerakkan hati dan pikiran untuk memberikan yang terbaik kepada rakyat.
Semoga, melalui proses demokrasi Pemilukada bangsa Indonesia dapat melahirkan pemimpin-pemimpin yang berintegritas; jujur, adil dan bertanggungjawab, serta peduli kepada permasalahan bangsa.

