Oleh : Mizaj Iskandar, Lc, LLM Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry
Manusia dalam beragama atau ketika seseorang memilih suatu ideologi yang diyakininya tidak bisa
terlepas dari tiga klasifi -kasi dalam Islam: Pertama, ketika seseorang menjatuhkan pilihan agamanya
kepada Islam, maka orang tersebut disebut dan dipandang sebagai seorang muslim, sebaliknya ketika seseorang menolak untuk memeluk agama Islam, maka orang ini tidak dapat dinamakan seorang muslim, tetapi seorang kafi r. Kasta muslim-kafi r merupakan konsekuensi logis untuk menunjukkan identitas seorang yang beriman kepada Allah SWT dengan orang yang tidak beriman kepada-Nya. Kasta ini disimpulkan dari fi rman Allah dalam QS: 3/85: “Dan barangsiapa yang mencari agama selain Islam, maka agamanya tersebut tidak akan diterima oleh Allah dan di akhirat mereka termasuk orang merugi”.
Oleh sebab ini, seorang muslim tidak dibenarkan untuk bertoleransi terhadap non muslim di wilayah teritorial agama, baik itu yang berbentuk ritual keagamaan, maupun dalam keyakinan beragama itu sendiri. Al-Quran menegaskan suatu prinsip dalam hal ini: “Lakum dinukum waliadin” (QS: 109/6). Kamu agamu, kami agama kami. Prinsip itu yang diinginkan Allah SWT ketika kita berbicara keyakinan dan ritual agama. Lebih tegas dari ayat pertama dan kedua dalam ayat ketiga Allah SWT memberikan ketegasan ketidakbolehan mencampuradukkan antar agama.
Allah SWT berfi rman dalam QS: 48/29: “Muhammad merupakan utusan Allah, orang-orang yang menyertainya tegas terhadap orang kafi r dan berbelas kasihan sesama kaum muslim”. Yang dimaksudkan dengan “tegas terhadap orang kafi r” dalam ayat ini adalah: tegas dalam keyakinan dan ritual ibadah dengan tidak mencampuradukkan Islam dengan agama yang lain. Tetapi, Islam sangat toleran dan fair jika berbicara dalam urusan keduniawaan. Cukuplah baju besi Nabi Muhammad yang digunakan untuk berperang digadaikan kepada seorang Yahudi sebagai contoh kasus dari bentuk toleransinya Islam dalam urusan keduniaan.
Kedua, ketika seorang muslim berbeda-beda dalam mengintepretasikan ajaran agama Islam, terutama di ranah i’tiqadiyah, maka konsekuensinya tidak sama dengan konsekuensi dalam permasalahan pertama (yang dapat menjadikan seseorang menjadi muslim-kafi r). Tetapi, konsekuensi logis yang muncul dari perbedaan pendapat di ranah kedua ini adalah, akan melahirkan muslim yang benar (jika interpretasinya benar) dan muslim yang tidak benar (sesat) jika interpretasinya keliru. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah yang berbunyi: “Terpecah ummat-Ku kepada tujuh puluh tiga sekte, semuanya masuk ke neraka, kecuali satu sekte saja. Kemudian, salah seorang sahabat bertanya: “Siapa mereka wahai Rasulullah?” Kemudian Rasulullah pun bersabda: “Siapa saja yang mengikuti-Ku dan sahabatKu”. (HR Tirmidzi). Dari sinilah kita bisa menarik suatu kesimpulan: kaum muslim dianggap benar jika memahami Islam –di ranah aqidah– benar, maka dia dikategorikan sebagai muslim yang baik yang dikemudian hari diberi label nama ahl sunnah wa al-jama’ah (sunni), sebaliknya ketika seorang muslim keliru dalam memahami ajaran Islam di ranah ini disebut “Islam sesat”. Kita tidak dapat mengatakan mereka “kafi r”, karena walaupun Rasulullah menganggap mereka sebagai “Islam sesat” dengan indikasi ditempatkannya mereka di akhirat kelak di neraka. Tetapi, Rasulullah masih menganggap mereka sebagai ummat beliau. Diharapkan Rasulullah akan memberikan syafaat kelak di hari akhirat.
Ketiga, perbedaan pendapat pada ranah furu’iyyah. Perbedaan pada ranah ini tidak berbobot sama dengan tingkat pertama dan kedua. Perbedaan pendapat pada ranah ini tidak pernah mencari mana orang muslim – kafi r atau yang mana muslim benar-muslim sesat, tetapi perbedaan pendapat pada ranah ini lebih berorientasi sebagai pencari mana muslim yang benar dan yang mana muslim yang paling benar. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah: “Barangsiapa yang berijtihad dan benar dalam ijtihadnya, maka dia dapat dua pahala, dan barangsiapa yang berijtihad dan keliru ijtihadnya, maka dia mendapatkan satu pahala”. (HR Tirmidzi). Secara akal sehat kita dapat mengetahui, Rasulullah tidak akan memberikan satu pahala sebagai orang salah.
Tetapi, kondisi kita pada hari ini sudah membolak-balikkan tiga perbedaan di atas, antara satu dengan yang lain. Tidak jarang kita menemukan kaum muslim saling mencela antara sesama muslim, padahal, yang diperdebatkan itu hanya masalah furu’iyyah fi qhiyyah, bahkan kita cenderung lebih toleran terhadap orang non muslim dibandingkan dengan sesama muslim, sehingga seolah-olah ayat yang yang berbunyi: “Muhammad adalah utusan Allah, dan yang menyertainya tegas terhadap orang kafi r, penuh kasih sayang sesama muslim”, berubah redaksi –karena kelakuan kita– menjadi: “Muhammad adalah utusan Allah, orang-orang yang menyertainya tegas terhadap sesama muslim, penuh kasih sayang dengan kaum kafi r”.
Ironi memang, tetapi fakta dalam kehidupan kita membenarkan semua yang kita jelaskan di atas. Rasa toleransi sulit terwujud jika kita belum mampu mewujudkan keberagamaan dalam persaudaraan. Kemudian timbul suatu pertanyaan, apakah semboyan: “Mari tolongmenolong dalam hal yang kita sepakati, dan saling bertoleransi dalam hal yang kita perselisihkan”, merupakan cita-cita ideal yang harus kita gapai atau hanya khayalan mengawan di negeri khayangan saja? Wallahu ‘alam bil haqiqah wa shawab.