Gema Jumat, 23 Oktober 2015
Oleh : Murizal Hamzah
Kabar itu tiba-tiba menghentak kita. Sebuah undung-undung (sejenis gereja kecil) dibakar oleh warga Minggu lalu. Tak pelak, berita ini memantik perhatian dari seluruh Indonesia bahkan dunia. Semestinya, tidak terjadi pembakaran undungundung jika sejak awal aparat keamanan mendeteksi dan mencegahnya. Salah salah tugas intelijen yakni memantau sejak dini dan membatasi terjadi hal-hal yang merusak toleransi beragama. Risiko dari pembakaran rumah ibadah itu, Kapolres Singkil dicopot untuk diberikan posisi bangku panjang. Jangan bermain serta membiarkan kasus sosial merebak. Ada harga yang harus dibayar mahal.
Dari kasus pembakaran di Singkil, kita menyaksikan aktifnya pengamat di Jakarta berkomentar dalam berbagai aspek yang kadangkala menyudutkan Aceh. Dengan modal sejengkal info, mereka bicara sangat panjang seolaholah yang sangat paham. Tentu saja warga di Tanah Syeikh Abdurrauf As-Singkily terperanjat dengan berbagai pernyataan tersebut. Tahu hanya 1 sentimeter namun bicara berkilo-kilometer. memberi pernyataan yang mendamaikan lebih baik atau memilih tutup mulut saja.
Jika tragedi di Singkil seperti kebakaran yang diselesaikan dengan memadamkan api, hal ini sudah dilakukan. Akar dari kebakaran yakni api. Apa pemantik terjadinya kerusuhan yang menyebabkan warga meninggal dunia?
Patut dicatat, keberadaaan gereja atau undung-undung di Singkil sudah ada sejak kolonial belanda. Dari aspek sejarah, umat Islam yang mayoritas di Aceh tidak ada masalah dengan umat non lain. Untuk urusan keyakinan, Islam sudah mengariskan bahwa “Untukmu agamamu, dan untukku, agamaku” (QS. Al Kafirun: 6). Tidak ada paksaan untuk memeluk Islam dan sebagainya.
Pembakaran rumah ibadah umat Islam sangat disesali. Semestinya dengan penerapan Syariat Islam, halhal yang bersifat kekerasan tidak boleh terjadi. Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin wajib menjadi contoh bagi umat Islam. Kita tidak perlu membakar tempat ibadah agama sebab ada aparat keamanan yang mengurusnya secara prosedul. Merujuk pada berbagai peraturan di Aceh yang berkaitan dengan pembangunan rumah ibadah, di sanalah kita berpedoman. Jika melanggar, perangkat daerah yang kepal tangan, bukan masyarakat.
Sebagai warga, kita meminta pemerintah daerah untuk menjalankan peraturan yang telah ditetapkan. Untuk pengamat yang di luar Aceh, silakan baca Peraturan gubernur Aceh No.25 Tahun 2007 tentang Pedoman Pendirian Rumah Ibadah di Aceh, SKB tiga menteri, ditambah Undang-Undang No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh Pasal 127 ayat 4. Ingat, Aceh berlaku prinsip hukum lex spesialis dan lex generalis. Tidak ada di daerah lain, ada di Aceh seperti hukum cambuk.
Kita sepakat, agar kasus seperti di Singkil tidak terjadi di daerah lain, pihak keamanan, warga, birokrat dan sebagainya untuk memperluas informasi dan memperkuat komunikasi. berbicara menyangkut SARA (suku, agama, ras dan antargolongan) itu sangat sensitif. Ada emosional yang berbicara ketika kaumnya diusik. bahkan itu mewariskan memori buruk untuk generasi selanjutnya. Sekali insiden SARA meletup, ada peluang hal ini terulang lagi pada masa mendatang.
Pada dimensi lain, birokrat dituntut lebih gesit dan siaga merespons fenomena sosial. Membiarkan keresahan-keresahan yang masih dalam skala kecil adalah seperti menunggu bola salju yang setelah bergulir semakin besar dan tidak bisa dikendalikan lagi. jangan mencari pangkat atau tahta dari kerusuhan yang bersifat suku, agama dan etnik. Risikonya, satu kota bisa terbakar, ribuan warga eksodus. Masyarakat butuh keadilan atas berbagai kasus. Maka, pelaku kerusuhan di Singkil harus diajukan ke pengadilan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya sekaligus membuktikan negara hadir dalam setiap kemelut yang terjadi pada warga.