GEMA JUMAT, 26 APRIL 2019
Oleh: Fahmi M. Nasir
Pada akhir 2018 lalu, kita melihat para pemangku kepentingan di Aceh sudah mulai aktif bergerak mencari formula merevitalisasi sektor wakaf.
Rapat Koordinasi (Rakor) yang digelar oleh Badan Wakaf Indonesia (BWI) Perwakilan Aceh, bulan November lalu, mengambil tema yang sangat signifikan iaitu ‘Membangun Sinergitas menuju Pengelolaan Wakaf yang Amanah dan Profesional’.
Pemangku kepentingan yang ikut serta dalam rakor itu berhasil mengidentifikasi beberapa masalah krusial seperti persoalan dana, sinergi antara pemangku kepentingan dan rendahnya kapasitas nazir yang menghambat optimalisasi tata kelola dan pengembangan wakaf di Aceh.
Solusi yang diberikan untuk masing-masing masalah itu adalah, pertama mengharapkan pemerintah pusat dan daerah untuk mengalokasikan anggaran operasional dan keperluan lainnya dalam mengembangkan wakaf. Kedua, meningkatkan sinergi dan kerjasama yang efektif antara BWI, Kementerian Agama, Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Baitul Mal Aceh (BMA) dalam melakukan pendataan wakaf, sertifikasi dan pembinaan nazir. Ketiga, meningkatkan kapasitas nazir dengan mengadakan pelatihan dan pendidikan, studi banding dan membekali nazir dengan keterampilan mengadvokasi harta wakaf yang bermasalah secara hukum.
Akan tetapi, solusi yang diberikan di atas itu terutama yang berkaitan dengan masalah dana dan nazir masih menggunakan pendekatan lama. Diperlukan keberanian untuk melakukan disrupsi sebagai pendekatan baru untuk mencapai perkembangan secara eksponensial dalam sektor wakaf.
Sambil menunggu alokasi dana dari pemerintah, ada baiknya pemangku kepentingan wakaf di Aceh mengambil terobosan baru untuk mendapatkan sumber pembiayaan wakaf. Dalam konteks membangun harta wakaf dewasa ini, paling tidak, seperti yang disebutkan oleh Hydzulkifli Hashim Omar dan Asmak Ab Rahman (2015), ada empat kategori pembiayaan yaitu pinjaman, kerjasama pemerintah dan swasta, investasi dari sektor korporasi, dan pembiayaan secara langsung melalui wakaf tunai.
Kisah keberhasilan berbagai model pembiayaan wakaf seperti halnya pembangunan Menara Bank Islam di Malaysia, Wakaf Bencoolen di Singapura dan Menara Zam Zam di Makkah, Saudi Arabia setidaknya dapat dijadikan contoh untuk mendisrupsi pola pembiayaan wakaf di Aceh.
Sementara itu, untuk menghadapi masalah rendahnya kapasitas nazir, pemangku kepentingan harus berani melakukan disrupsi secara drastis dalam sektor nazir untuk dapat memajukan wakaf di Aceh.
Caranya bagaimana? Pertama perlu merubah paradigma tentang nazir wakaf. Nazir wakaf ini tidak semestinya faham konsep wakaf semata. Tapi nazir wakaf ini harus betul-betul memahami bagaimana bisa mengembangkan aset wakaf secara profesional.
Oleh karena itu, pemangku kepentingan wakaf Aceh khususnya Baitul Mal Aceh harus merekrut staf dari berbagai disiplin ilmu yang memiliki keterampilan dalam berbagai bidang seperti keuangan dan akuntansi, real estate, arsitektur, teknik sipil, keuangan Islam, administrasi bisnis, pemasaran, manajemen konstruksi dan manajemen proyek.
Mengapa harus begitu? Keberhasilan yang diraih oleh Singapura dalam mengembangkan wakaf adalah dimulai dari keberanian Majlis Ugama Islam Singapura (MUIS) membentuk Warees Investment Pte Ltd (Warees), pada tahun 2000, sebagai anak perusahaan (nazir) untuk mengembangkan wakaf. MUIS sendiri hanya memberi fokus kepada peran-peran yang bersifat administratif dan sebagai regulator saja. Staff Warees ini sebagian besarnya adalah anak-anak muda milenial yang melek teknologi (tech-savvy) dan memiliki orientasi kerja yang jelas.
Akhirnya, kita berharap kisah sukses model pembiayaan wakaf di negara lain ditambah dengan langkah inovatif MUIS dalam mendisrupsi lembaga pengelola wakaf di Singapura dapat menjadi inspirasi bagi pemangku kepentingan wakaf di Aceh khususnya, untuk segera mendisrupsi cara memajukan sektor wakaf di daerah kita masing-masing.