Wawancara : M. Adli Abdullah, Aktivis International Concern Group for Rohingya
Belum lama ini, Aceh dihebohkan dengan kedatangan tamu muslim Rohingya. Tanpa pamrih, masyarakat Aceh menyambutnya dengan suka cita. Sehingga kini kejadian ini sudah mendunia asal usul manusia perahu itu tendampar di Serambi Mekkah. Mereka disebutsebut ada konflik agama di daerah mereka. Untuk mengetahui lebih lanjut siapa mereka, berikut wawancara singkat wartawan Gema Baiturrahman, Abi Qanita dengan aktivis International Concern Group for Rohingya, M Adli Abdullah yang juga mantan Sekjen Panglima Laot.
Siapa sebenarnya Rohingya itu dan kenapa mereka bisa terdampar di Aceh?
Etnis Rohingya ini menurut kajian budaya merupakan etnis minoritas di Arakan, Myanmar. Keislaman mareka sudah dimulai sejak abad ke 8 Masehi. Namun, akar sejarah Islam di Arakan telah dihilangkan oleh Junta Militer Myanmar. Melalui cara penghapusan etnik seperti genocida secara sistematis. Bahkan, kini menurut statistik jumlah bangsa Rohingya di Myanmar sekitar 4,5 juta orang. Dari jumlah tersebut 1.5 juta tinggal di Arakan dan 3 juta juta tinggal di beberapa provinsi lain di Myanmar.
Akibatnya dari tadinya 90 persen Muslim menjadi hanya 30 persen atau hanya sekitar 1,5 juta dari 5 juta penduduk provinsi Arakan, Myanmar Junta Militer Myanmar melakukan ethnic cleansing dengan membumihanguskan penduduk muslim di sana dan menukar wilayah Arakan (wilayah muslim di Myanmar) menjadi wilayah Buddha dan Pagoda. Maka banyak penduduk muslim yang menyelamatkan diri dan mengungsi ke mancanegara. Junta Militer di Myanmar melakukan berbagai bentuk kekejaman dan penindasan terhadap muslim Rohingya, seperti penolakan pemberian kewarganegaraan.
Apakah Rohingya menginginkan terdampar di Aceh?
Karena mareka diusir oleh Junta militer Myanmar dari tanah leluhurnya. Bukan hanya ke Aceh tetapi juga ke Negara Negara lainnya seperti Malaysia, Thailand, Pakistan sampai Timur Tengah. Banyaknya mareka lari ke Asean karena pintu masuk ke Bangladesh sudah ditutup yang terbuka hanya jalur laut. Melihat daftar kekejaman yang dialami oleh rakyat Rohingya, maka wajar jika mereka terus menerus ingin keluar dari Myanmar. Akhirnya, mereka pergi ke tempat lain untuk mencari penghidupan yang lebih baik dan menjadi pengungsi di mancanegara, termasuk yang terdampar di Aceh, dan Sumatra Utara Indonesia. Menurut laporan UNHCR tahun 2014; terdapat 600.000 muslim Rohingya mengungsi ke Bangladesh, 350.000 di Pakistan, 400.000 di Saudi Arabia dan lebih dari 100.000 di negara, Uni Emirat Arab, Thailand, dan di Malaysia sampai dengan Januari 2015 terdapat 87.500 pengungsi Rohingya yang telah mendapat kartu UNHCR, menunggu penempatan di negara ke tiga.
Bagaimana seharusnya pemerintah Aceh dan rakyat Aceh mensikapi kehadiran masyarakat Rohingya tersebut?
Dalam hal menangani pengungsi Rohingya ini, Pemerintah Indonesia agar tidak mendeportasi mareka ke negaranya, karena tindakan ini sama saja mengirim mareka ke liang lahat. Solusinya, Indonesia bisa belajar dari beberapa negara yang mempunyai kasus serupa yaitu diberi kebebasan mareka bergerak, bukan ditempatkan di tahanan imigrasi menunggu penempatan di negara ketiga yang difasilitasi oleh UNHCR atau IOM dan perlu juga dibangun solidaritas masyarakat agar membantu saudara se iman kita tersebut yang selamat ke negeri kita dalam mempertahankan keimanannya..
Siapa yang bertanggungjawab terhadap masyarakat Rohingya tersebut?
Karena itu sudah berada di negeri kita, maka semua kita harus peduli pada masyarakat muslim rohingya ini, sesuai dengan posisi kita masing masing, baik pemerintah kab/kota maupun pemerintah Aceh agar mareka merasa benar telah berada di bumi yang se iman dengan mareka.
Bagaimana Anada melihat semangat masyarakat Aceh dalam membantu Rohingya, bahkan mendapat apresiasi dari UNHCR?
Saya terharu baik dalam kapasitas pribadi maupun lembaga ICGR (international concern group for Rohingyas) atas usaha nelayan Aceh menyelamatkan mareka ditengah laut, walaupun pada awaknya ada pihak yang berusaha mengusir mareka kembali ke laut. Saya menghimbau beri bantuan kemanusiaan kepada ‘manusia perahu’ ini dan posisikan mereka sebagai pengungsi, bukan sebagai pendatang gelap, dan komunitas internasional perlu menekan Pemerintah Myanmar untuk menghentikan kekerasan etnis dan genosida di Myanmar sekali lagi saya mengimbau seluruh masyarakan Aceh dan bangsa Indonesia agar memberikan bantuan kemanusiaan kepada msyarakat Rohingya, khususnya mereka yang telah berhasil menyelamatkan nyawanya dan menjadi manusia perahu dan terdampar di perairan saat ini.