Gema JUMAT, 22 April 2016
Oleh H. Basri A. Bakar
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk berbuat baik kepada para wanita.” (HR Muslim: 3729)
Pada zaman Jahiliyah dahulu, wanita dianggap manusia yang hina, sehingga anak yang lahir berkelamin wanita, maka tidak segansegan dibunuh dan dibuang karena menjadi aib keluarga. Sebelum datang Islam, orang-orang Yunani menganggap wanita sebagai sarana kesenangan saja, bahkan orang-orang Romawi memberikan hak atas seorang ayah atau suami menjual anak perempuan atau istrinya. Namun di kala Rasulullah diutusan menjadi Rasul, maka derajat wanita ditinggikan dan dimuliakan.
Anehnya di antara pandangan negatif yang dialamatkan oleh kalangan Barat terhadap ajaran Islam, adalah bahwa Islam tidak menghargai kedudukan wanita. Mereka menuduh Islam diskrimanatif dan memasung kebebasan wanita, tidak adil dan menjadikannya sebagai manusia kelas dua yang terkungkung dalam penguasaan kaum laki-laki. Wanita Islam pun sering disimbolkan sebagai wanita terbelakang dan tersisihkan dari dinamika kehidupan tanpa peran nyata dalam masyarakat. Itu sebabnya, mereka matimatian menyuarakan kesetaraan gender.
Apa yang mereka tuduhkan sebenarnya tidak mendasar. Islam justru memuliakan menghormati kaum wanita. Rasulullah mengatakan wanita itu ibarat tiang negara, bahkan surga itu terletak di bawah telapak kaki ibu. Rasulullah juga pernah bersabda : “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya, dan aku adalah yang paling baik terhadap istriku.” (HR Tirmidzi, dinyatakan shahih oleh Al Albani dalam “ash-shahihah”: 285).
Sebenanrnya Rasulullah sendiri merupakan sosok emansipasi yang memperjaungkan hakhak dan kemuliaan wanita. Jadi, kalau kemudian muncul sosok RA Kartini atau tokoh pejuang wanita lainnya, boleh dikatakan belum sebanding dengan apa yang telah dirintis dan diperjuangkan oleh Rasulullah SAW.