Hujjatul Islam Imam al-Gazali menyebutkan amar makruf nahi mungkar sebagai poros (quṭub) agama yang paling agung. Menurutnya, amar makruf nahi mungkar merupakan perkara yang sangat penting dalam kehidupan manusia, dan karenanya Allah mengutus para nabi yang tersebar di berbagai penjuru dunia (Iḥya Ulum ad-Din, 2005: 781).
Oleh karena itu, apabila pengetahuan dan praktik amar makruf nahi mungkar ditinggalkan, maka fungsi kenabian akan berhenti tanpa penerus, agama akan binasa, kelemahan akan menjalar ke mana-mana, kesesatan akan terbuka lebar, kebodohan akan menyebar luas, kerusakan akan terjadi di mana-mana, negara akan hancur, dan manusia akan mengikuti hawa nafsunya masing-masing layaknya kawanan binatang (Iḥya Ulum ad-Din, 2005: 781).
Para ulama berpendapat bahwa hukum amar makruf nahi mungkar adalah fardu kifayah. Oleh karena itu, ketika ada sebagian muslim yang melaksanakan kewajiban amar makruf nahi mungkar, maka muslim lain bebas dari kewajiban tersebut dan tidak berdosa apabila tidak melaksanakannya. Namun, apabila semua umat Islam tidak ada yang melaksanakan kewajiban amar makruf nahi mungkar, maka semua muslim yang mampu melaksanakannya (tetapi tidak melaksankannya tanpa adanya uzur dan rasa takut) akan berdosa (Mawsu‘ah Naḍrah an-Na‘im, hlm. 526).
Pentingnya amar makruf nahi mungkar ini banyak disebutkan dalam nas agama, baik Al-Qur’an maupun hadis (lihat Iḥya Ulum ad-Din, hlm. 782-787). Salah satu ayat yang secara nyata memerintahkan amar makruf nahi mungkar adalah: “Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar (Ali Imran (3): 104).”
Terlaksananya Amar Ma’ruf Nahi Munkar merupakan pengejawantahan dari Islam Rahmatan lil ‘alamin. Dengan kata lain, Islam rahmatan lil’alamin akan dirasakan semua pihak manakala Amar Ma’ruf Nahi Munkar berjalan dengan baik.
Dengan melakukan Amar Ma’ruf (menyuruh kepada kebaikan) berarti mengharapkan turunnya keberkahan untuk seluruh negeri, sebab Allah berjanji, jika penduduk suatu negeri beriman dan bertaqwa pastilah Allah akan membukakan pintu-pintu keberkahan, sebagaimana firman Allah:
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (QS. Al-A’raaf/7: 96).
Redaksi ayat ini menggunakan huruf lam taukid لَفَتَحْنَا yang berarti benar-benar, sungguh, atau pasti apabila dinisbatkan kepada Allah. Jadi, makna ayat tersebut, pasti Allah akan membukakan pintu-pintu keberkahan dari langit maupun dari bumi, dengan syarat penduduknya beriman dan bertaqwa.
Begitu pula, dengan melakukan nahi mungkar (mencegah kemunkaran) agar tidak berkembang di tengah masyarakat, berarti mencegah turunnya azab Allah agar tidak menimpa seluruh negeri. Sebab sudah menjadi sunnatullah, manakala kemungkaran terjadi di mana-mana dan tidak ada yang peduli, masyarakat acuh tak acuh, tidak saling melarang, maka akan turun azab di sana, dan kalau azab itu turun, tidak hanya menimpa kepada pelaku-pelaku kemungkaran saja, tetapi oran-gorang baik, anak-anak tak berdosa, orang tua jompo yang tak berdaya, semua akan merasakan dampaknya.
Inilah sebahagian makna peringatan Allah dalam Al Quran “Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya”. (QS. Al-Anfal/8: 25)
Kurangnya pemahaman mengenai amar ma’ruf dan nahi mungkar pada suatu masyarakat dapat menjadikan persoalan mengenai kenakalan remaja yang menjadi suatu tren di masyarakat tersebut menjadi sesuatu yang terbiasa, apalagi di jaman modern ini. Maka dari itu, pada suatu masyarakat haruslah memiliki pemahaman mengenai amar ma’ruf dan nahi mungkar yang harus dijalankan di suatu masyarakat tersebut.
Setidaknya ada tiga konsep amar ma’ruf nahi mungkar menurut M. Quraish Shihab: 1) Amar ma’ruf dan nahi mungkar yang diartikan memerintahkan atau mengajak diri dan orang lain melakukan hal-hal yang dipandang baik masyarakat dan diakui baik serta sesuai dengan nilai-nilai Ilahi, dan melarang atau mencegah diri dan orang lain dari melakukan hal- hal yang dipandang buruk oleh masyarakat dan nilai-nilai ilahi.
2) Amar ma’ruf dan nahi mungkar atau kontrol sosial merupakan upaya, teknik dan strategi yang mencegah perilaku manusia untuk menyimpang dalam masyarakat. Kehidupan sosial masyarakat modern saat ini, banyak terjadi penyimpangan isu-isu agama sebagai dasar melakukan kemungkaran.
Dari Abu Sa’id Al Khudri: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda, tiga cara beramar ma’ruf nahi munkar, yaitu dengan tangan atau kekuasaan (kewenangan dan posisi sosial yang kita memiliki), lalu lisan (pendapat, opini, nesihat), dan dengan sikap hati (anti terhadap perbuatan munkar). Cara terakhir dinilai sebagai manifestasi dari iman yang paling lemah. Hal seperti ini membutuhkan peran amar ma’ruf dan nahi munkar sesuai dengan kemampuannya atau kontrol sosial untuk menghadapinya supaya kemungkinan terjadi suatu kejahatan atau hal yang menyimpang akan berkurang.
Dalam suatu masyarakat, bila amar ma’ruf dan nahi mungkar tetap dapat tegak, berarti hubungan individu-individu dalam masyarakat itu amat erat. Masing-masing merasa berkewajiban menjaga keselamatan masyarakatnya. Masing-masing merasa terbuka hatinya menerima nasihat. Masing-masing merasa senang menyampaikan nasihat kepada yang lain. Yang menerima nasihat merasa diselamatkan, yang memberi nasihat merasa menunaikan kewajiban. Masyarakat menjadi kuat.
Sebaliknya, dalam suatu masyarakat bila amar ma’ruf dan nahi mungkar tidak dapat ditegakkan, berarti hubungan individu-individu dalam masyarakat itu retak. Masing-masing hanya mementingkan diri sendiri, nafsi-nafsi, acuh tak acuh terhadap orang lain. Bila terjadi kemungkaran, tidak ada yang merasa wajib mencegah. Kalau ada juga yang memberanikan diri untuk mencegah, diterima sebagai campur tangan urusan orang lain.
Masyarakat yang tiap-tiap anggotanya hidup nafsi-nafsi itu pasti meluncur kepada kelemahan dan akhirnya kepada kehancuran. Al-Quran Surat Al-Isra’ ayat 16 memperingatkan, bila Allah menghendaki hancurnya sesuatu ummat, dijadikanlah orang-orang yang hidup bermewah-mewah dan tidak mengenal batas-batas ajaran Allah sebagai penguasa-penguasa yang tidak seorang pun berani menyampaikan amar ma’ruf nahi mungkar-nya.
Syekh Muhammad Thahir Ibn ‘Asyur dalam kitab tafsirnya, at-Tahrir wa-at-Tanwir, menjelaskan tingkatan dakwah: “Sungguh dakwah kepada kebaikan itu bertingkat-tingkat: di antaranya ada tingkatan yang bisa dilakukan oleh setiap muslim; dan ada tingkatan dakwah yang memerlukan pengetahuan yang (hanya) dilakukan oleh ahlinya, dan inilah yang dinamakan fardhu kifâyah, yakni bila sudah dilakukan oleh sebagian orang, maka gugurlah kewajiban atas yang lainnya. at-Tahrir wa-at-Tanwir, Jilid IV: 39).
(Dalam hal ini) Menjadi jelas sekelompok orang yang menjalankan dakwah ini (harus) dengan memenuhi persyaratan-persyaratannya, seperti punya energi kekuatan dalam mengangkat pedang (senjata) –dalam situasi perang [pen.], bisa berenang dalam menyelamatkan orang yang tenggelam, dan mempunyai ilmu tentang ajaran-ajaran agama mengenai beramar ma’ruf nahi mungkar, juga (syarat mengenai) jumlah orang yang diperlukan melakukan dakwah dan amar ma’ruf nahi mungkar tersebut….” (at-Tahrir wa-at-Tanwir, Jilid IV: 39).
Selanjutnya, berkaitan dengan amar ma’ruf nahi mungkar, terdapat persyaratan atau kriteria khusus. Ada lima persyaratan atau kriteria amar ma’ruf nahi munkar itu, sebagaimana dikemukakan oleh Syekh Abd al-Qadir al-Jilani dalam kitabnya al-Gunyah li-Thalibi Thariq al-Haqq. Orang yang beramar ma’ruf nahi mungkar harus memenuhi lima persyaratan:
Pertama, ia mengetahui sesuatu yang diperintahkan dan sesuatu yang dilarang. Kedua, tujuan atau motivasi dari amar ma’rufnya adalah mencari ridha Allah dan meluhurkan agama-Nya, serta meninggikan Kalimat-Nya, bukan karena riya’, sum‘ah, dan kebanggaan bagi diri sendiri. Ia akan membantu dan membimbing orang yang berbuat kemungkaran ke arah kebaikan, jika memang ia (orang yang beramar ma’ruf nahi mungkar) berlaku benar dan ikhlas.
Ketiga, perintah dan larangannya dilakukan dengan lemah lembut, ramah dan kasih sayang. Nasihat disampaikan dengan cara yang baik, bukan dengan keras dan marah-marah, agar ia tidak mempersamakan musuhnya itu dengan setan yang terkutuk. Raulullah dalam hadits Usamah bersabda: ”Tidaklah patut bagi seseorang yang menyeru kepada kebaikan dan melarang kepada kemungkaran, sehingga di dalam dirinya terpenuhi tiga macam: memahami apa yang dia perintahkan; memahami apa yang dia larang; dan lemah lembut terhadap sesuatu yang dia perintah dan lemah lembut terhadap sesuatu yang dia larang.”
Keempat, ia menjadi seorang yang penyabar, murah hati, toleran, rendah hati, mampu mengontrol hawa nafsu, kuat hatinya, penurut (tidak beringas atau sangar), laksana dokter yang mengobati pasiennya, bijak bestari yang mengobati orang gila, dan pemimpin yang memberikan petunjuk.
Kelima, ia melaksanakan sesuatu yang dia perintahkan, menjauhi sesuatu yang dia larang, dan tidak berlumuran dengan sesuatu yang dilarang tersebut, agar ia tidak dikuasi oleh mereka, yang justru menjadikannya hina dan tercela di hadapan Allah Taala.” (al-Gunyah li-Thalibi: Juz I/ 51-53).
Syaikh Al Bajuri menerangkan ada beberapa syarat dalam melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar, diantara: pertama, mengetahui hukum yang terkandung terhadap perkara yang diperintahkan dan perkara yang dilarang. Kedua, adanya jaminan tidak terjadi kemunkaran yang lebih besar setelah melaksanakan nahi mungkar terhadap suatu perkara. Seperti tidak bolehnya melarang orang minum khamar jika seandainya dengan larangan tersebut dapat mengancam nyawa si pelaksana nahi mungkar.(Tuhfatu al Murid ‘Ala Jauhara al Tauhid: 328)