Gema JUMAT, 15 Januari 2016
Oleh H. Basri A. Bakar
Allah SWT berfi rman yang artinya : “Kami tidak mengutus engkau, wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia” (QS. Al Anbiya: 107) ”Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaaf : 18).
Dalam sebuah hadis Rasulullah pernah mengingatkan bahwa seseorang yang telah menyatakan diri beriman kepada Allah dan hari kiamat hendaknya hanya berbicara yang baik-baik, dan kalau ia tidak sanggup untuk itu, sebaiknya diam saja. Pada kesempatan yang lain, Rasulullah juga menegaskan akibat tidak mampu menjaga mulut atau lidah, seseorang diancam menjadi penghuni neraka. Penegasan tersebut membuktikan keterkaitan yang erat antara perkataan seseorang dengan keimanan. Artinya perkataan yang baik, mencerminkan iman yang tebal. Sebaliknya, dengan iman yang kuat, seseorang tak akan membiarkan mulutnya untuk mengucapkan kata-kata yang kotor dan tidak bermanfaat.
Seringkali lisan kita tergelincir mengucapkan kata-kata kotor, mencela orang lain, membicarakan aib orang lain memfi tnah, bahkan kadang mengucapkan kata-kata yang mengandung kesyirikan dan kekufuran. Seharusnya setiap muslim mengoreksi diri dalam setiap tingkah lakunya, terutama dalam memanage lisannya, yang begitu mudah mengucapkan sesuatu karena keluar dari lidah yang tak bertulang. Padahal, setiap yang kita ucapkan, mencakup perkataan yang baik, buruk dan sia-sia akan selalu dicatat oleh malaikat yang setiap saat mengawasi kita.
Dari Sahl bin Sa’ad ra, Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang dapat memberikan jaminan kepadaku tentang kebaikannya apa yang ada di antara kedua tulang rahangnya – yakni mulut atau lidah – serta antara kedua kakinya – yakni kemaluannya, maka saya memberikan jaminan syurga untuknya” (Muttafaq ‘alaih)
Rasulullah juga pernah bersabda: “Sesungguhnya seseorang hamba itu niscayalah berbicara dengan suatu perkataan yang tidak ia pikirkan baik atau buruknya, maka dengan sebab perkataannya itu ia dapat tergelincir ke neraka yang jaraknya lebih jauh daripada jarak antara sudut timur dan sudut barat” (Muttafaq ‘alaih).