Gema Jumat, 30 Oktober 2015
Oleh H. Basri A. Bakar
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.” (QS. Al Baqarah: 276)
Riba secara literal bermakna tambahan (al-ziyadah), sedangkan menurut istilah Imam Ibnu al-‘Arabiy mendefinisikan riba dengan semua tambahan yang tidak disertai dengan adanya pertukaran kompensasi. Menurut istilah, riba berarti : menambahkan beban kepada pihak yang berhutang (riba hutang piutang) atau menambahkan takaran saat melakukan tukar menukar barang atau makanan.
Seluruh ulama sepakat mengenai keharaman riba, baik yang dipungut sedikit maupun banyak. Dengan demikian, seseorang tidak boleh menguasai harta riba dan harta itu harus dikembalikan kepada pemiliknya, jika pemiliknya sudah diketahui, dan ia hanya berhak atas pokok hartanya saja.
Ayat di atas menggambarkan bahwa Allah sangat murka kepada orang-orang yang mempraktekan riba baik sedikit apalagi banyak. Boleh jadi Allah SWT menghancurkan pelaku atau keluarganya ditimpa bencana atau musibah, seperti jatuh sakit atau menghancurkan yang bersifat abstrak, yaitu menghilangkan berkahnya. Dia memiliki harta yang sangat berlimpah, akan tetapi dia merasa seperti orang miskin yang selalu kekurangan. Jiwanya gelisah dan tidak pernah tenteram dan bahagia.
Realitas menyedihkan akhir-akhir ini dimana riba berkembang di setiap sudut kehidupan secara luas. Bahkan praktek riba dalam sebagian masyarakat dianggap sebagai hal biasa. Padahal, riba merupakan sebuah inovasi yang jahat dan sumber kejatuhan ekonomi dan spiritual masyarakat kapitalis. Oleh karena itu ummat Islam harus menghindari dari riba dan praktek jual beli yang menjurus riba. Jangan ada argument seakan-akan riba boleh dilakukan di era globalisasi.