Sri Suyanta Harsa:
Muhasabah 25 Jumadil Awal 1440
Saudaraku, tema muhasabah hari ini masih episode lanjutan mengambil ibrah dari nasihat yang diberikan oleh Imam al-Ghazali kepada muridnya yang termaktub dalam buku Ayyuhal Walad, Duhai Anakku.
Di antara nasihat Imam Ghazali adalah Duhai Anakku, pernah diceritakan di sebuah kitab yang berisi tentang pesan-pesan Lukman al-Hakim kepada anaknya yang mendidik anaknya: “Buah hatiku, sungguh jangan sampai ayam jago lebih cerdas dari pada dirimu! Dia berkokok memanggil-manggil di waktu sahur sementara kamu tidur”.
Lalu, seseorang telah menggubah syair yang benar-benar bagus. Di tengah malam, sungguh burung-burung berkicau lemah di atas ranting sedangkan diriku terlelap tidur. Diriku telah berdusta. Demi Baitullah, apabila daku benar-benar rindu pada Allah tentunya burung-burung itu tidak akan mendahuluiku menangis. Aku kira diriku tak tahu arah karena rindu pada Allah, akan tetapi aku tak mampu menangis, sedangkan binatang-binatang sedang mengeluarkan air mata.
Saudaraku, semua ciptaan Allah di sekitar kita sejatinya senantiasa bertasbih dengan caranya sendiri. Dan anehnya, manusia hanya sebagiannya saja. Daun bertasbih dengan melambai-lambai ketika ditiup angin, air bertasbih dalam gemericiknya saat mengaliri ngarai, saluran-saluran hingga ke lembah-lembah gersang, api bertasbih dengan menyala menerangi menjilat-jilat apapun yang ada di sekitarnya. Hewan juga bertasbih dengan caranya sendiri. Burung, misalnya, tasbihnya dapat kita dengar dari kicauannya yang beragam irama dan gayanya. Bahkan banyak binatang yang merintih dan menangis. Nah akankah kita kalah cerdas dan ikhlasnya dengan semua ciptaan Allah yang notabene tak berakal ini?
Saudaraku, di kalangan manusia memang sih menangis berurai air mata sering sekali tak bisa disembunyikan apalagi ditahan, ia mewakili ekspresi psikologis masing-masing orang, baik saat susah maupun bahkan manakala hati terenyuh membahagia dan saat menyesali akan semua dosanya.
Ya saudaraku, sudah seberapa menetes air mata taubat atas semua maksiat yang sudah terlanjut kita perbuat? Seberapa banyak air mata terenyuh saat bisa membantu melahirkan rasa bahagia sesama? Seberapa mengalirair mata kerinduan akan kebenaran dari Allah Rabbuna? Ataukah hanya air nata tumpah saat susah saja?
Ya, saudaraku, mungkin sudah tak berbilang lagi air mata kita tumpah atas segala perasaan, baik dalam relasi insani maupun dengan ilahi. Nah yang dirindukan itu air mata atau tangisan karena dosa atau terenyuh saat membahagiakan sesamanya. Semoga juga air mata dan tangisan taubat (nasuha) atas semua perilaku dosa.
Saudaraku, bila air mata atau tangisan sudah kuta alami karena terenyuh telah membantu membahagiakan sesamanya atau atau tangisan taubat atas dosa-dosa, maka kita semestinya mensyukurinya, baik di hati, lisan maupun perbuatan nyata.
Pertama, mensyukuri air mata atau tangisan terenyuh karena telah membantu membahagiakan sesamanya atau atau tangisan taubat atas dosa-dosa di hati dengan meyakini bahwa air mata atau tangisan seperti ini adalah energi positif yang terus membahagiakan.
Kedua, mensyukuri air mata atau tangisan sudah kita alami karena terenyuh telah membantu membahagiakan sesamanya atau atau tangisan taubat atas dosa-dosa di lisan dengan memperbanyak mengucapkan alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Dengan mensyukurinya semoga Allah membukakan hati kita untuk lebih peka terhadap sesama, lebih peduli terhadap dosa agar diampuni.
Ketiga, mensyukuri air mata atau tangisan sudah kuta alami karena terenyuh telah membantu membahagiakan sesamanya atau atau tangisan taubat atas dosa-dosa, dengan tindakan konkret, yaitu memperbanyak menangis ketimbang tertawa.