Gema, 02 Mei 2018
Oleh Dr. Sri SuyantaW (akil Dekan I Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Ar-Raniry)
Saudaraku, melanjutkan pesan muhasabah yang baru lalu tentang kemahamurahan Allah atas makhlukNya yang layak kita syukuri. Allah juga menciptakan cahaya bagi kehidupan manusia, baik yang bersumber dari dirinya sendiri seperti matahari dan api maupun yang memantulkannya seperti melalui bintang-bintang di langit, dan rembulan. Di samping itu juga atas anugrahNya yang tercurah kepada orang-orang yang sukses menciptakan peralatan dan sistem pelistrikan yang dapat menghidupkan aneka ragam lampu sehingga penuh cahaya warna warni di mana-mana atas jangkauannya.
Coba bayangkan, bila hidup ini malam terus menerus, hidup ini gelap terus menerus atau ketiadaan cahaya sedikitpun. Niscaya hanya makhluk malam saja seperti kelelawar, dan hantu yang dapat berkeluaran ke mana-mana untuk cari mangsa. Manusia yang notabene makhluk siang hari sangat bergantung pada keberadaan cahaya, bergantung pada listrik, bergantung pada lampu.
Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Qs. Al-Nur 35)
Di ayat lain Allah berfirman Maha Suci Allah yang menjadikan di langit gugusan-gugusan bintang dan Dia menjadikan juga padanya matahari dan bulan yang bercahaya. (Qs. Al-Furqan 61)
Dalam pandangan makhluk di bumi, bahwa langit itu gelap, kecuali padanya bersinarnya matahari, bercahayanya rembulan dan bintang-bintang serta bercahayanya lampu-lampu, kembang api yang sengaja dilesatkan ke sana sehingga sesaat terang berkilauan.
Dengan keberadaan cahaya yang menerangi sehingga manusia dapat menyempurnakan peran dan amaliah untuk kehidupannya di bumi ini, maka kita dingatkan tentang akhlak mensyukuri eksistensi cahaya.
Pertama, mensyukuri cahaya dengan mengembangkan keyakinan bahwa pergantian dari gelap ke terang, malam ke pagi merupakan tanda-tanda keagungan dan kemurahan Allah atas semua makhluknya, terutama manusia agat dapat ditadaburi sehingga manusia mampu mengenai Rabnya.
Kedua, mensyukuri cahaya dengan memperbanyak ucapan alhamdulillahirabbil’ alamin. Ketika membuka mata saat bangun dari tidur di gelapnya malam menuju ke dini dan fajar menyingsing, kita juga lazim mengikrarkan doa alhamdulillahilladzi ahyana bakdama amatana wa ilaihi nusur. Lalu kita basmallah saat menghidupkan lampu dan mengucapkan alhamdulillah atas cahayanya, dan terus bersambung dengan ragam aktivitas harian seraya mensyukurinya.
Sembari memanjadkan permohonan doa dalam rangkaian shalat lail, shalat sunah fajar, shalat subuh, dzikir dan tilawah Qur’an, tak terasa di ufuk timur menyemburat cahaya memecah gelapnya malam, matahari sang surya dikirim ke atas bumi pertanda pagi siang hari memulai. Demikian juga kita hidupkan lampu-lampu terutama di rumah, kantor, dan bangunan yang bersekat agar cahaya dapat merata sehingga ragam aktivitas bisa terjaga. Begitulah syukur alhamdulillah terus adanya, seiring dengan keperlukan akan cahaya.
Ketiga, memanfaatkan cahaya atau kondisi terang benderang karena adanya cahaya hanya untuk menggapai keridhaanNya saja. Dalam kondisi bercahaya baik karena matahari menyinari maupun karena lampu-lampu yang sengaja dihidupkan, kita dapat beraktivitas apa saja, mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarga, belajar dan atau mengajar, melayani masyarakat, dengan meniatkannya hanya karena Allah guna menggapai kiradhaanNya.
Keempat, mengambil ibrah dari diciptakannya cahaya. Sejatinya cahaya itu adalah tersingkapnya kegelapan padanya dan gelap merupksn keyiadaan cahaya atasnya. Dan lihatlah yang bercahaya dengan ragam kekuatan dan radius sinarnya, maka keberadaannya menjadi kelihatan dan semakin jelas seiring dengan besaran cahayanya. Yang tak bercahaya lagi tentu tidak kelihatan, sehingga keberadaannya dikira tiada. Malah tragisnya biasanya ketiadaan cahaya akan memberi efek negatif pada terganggunya aktivitas di sekitarnya.
Meskipun ada dan memiliki cahaya atau tiada dan tak bercahaya adalah pilihan masing-masing hamba, namun ketika ada dan memiliki cahaya pasti dapat ditangkap dan dirasakan oleh orang-orang di sekitarnya.
Di sinilah pesan Nabi Muhammad saw mesti diingat khairunnas anfa’uhum linnas. Akankah diri ini bercahaya? Kalau ya seberapa? Lima watt yang hanya menyinari sebuah kamar yang kecil, atau 10 watt? atau mercuri yang menyinari jalan raya? atau rembulan bahkan matahari yang menyinari jagad raya? Saatnya bermuhasabah