Gema, 05 Mei 2018
Oleh Dr. Sri Suyanta (Wakil Dekan I Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Ar-Raniry)
Saudaraku, secara subtantif, suatu peradaban di manapun selalu menyiratkan nilai keadiluhungan bangsa yang melahirkannya. Lazimnya nilai yang adiluhung selalu diuri-uri dilestarikan dan diwariskan antargenerasi.
Ketekunan, kerajinan, kreativitas berkarya, kedermawanan, kesopansantunan, kebersahajaan, kerendahhatian, keindahan, kedamaian, kesejahteraan, keadilan, kedermawanan, kepiawaian, kebijaksanaan adalah di antara nilai adiluhung yang besifat universal yang lazim dikukuhkan oleh berbagai-bagai bangsa guna meneguhkan capaian peradabannya.
Nilai keadiluhungan tersebut menjadi kesadaran kolektif yang mewujud pada kontribusi positif seluruh civitas bangsanya untuk meneguhkannya dalam kehidupan. Semakin luas dan lama nilai-nilai keadiluhungan dapat dipertahankan, maka akan berpengaruh terhadap tingginya martabat bangsa, agama dan peradabannya.
Bila ditelisik pada sejarah peradaban yang dikenali oleh manusia, maka pada tahun-tahun 5000 sebelum masehi Mesir Kuno sudah menorehkan tinta emas akan peradabannya, lalu disusul oleh bangsa India Purba pada 4000 SM, Tiongkok Purba 2000 SM, Persia Purba 1000 SM, dan Yunani Ronawi 500 SM sd 100 SM.
Pada abad-abad masehi antara 650 sd 1250 M, peradaban Islam tampil ke pentas dunia secara gemilang, dan disusul era peradaban barat masa setelahnya. Dan kini, berbagai bangsa dan umat beragama tengah berkompetisi, bersaing, bertanding, bersanding meraih prestasi dan prestise menuju hegemoni peradabannya. Ada Cina, Jepang, Melayu Nusantara, Aceh, Bugis, Jawa dan seterusnya.
Oleh karena itu, layak bagi kita mengembangkan akhlak mensyukuri peradaban.
Pertama, meyakini sepenuh hati bahwa peradaban yang kukuh dan cemerlang adalah peradaban yang dibangun atas dasar iman, ilmu dan amal shalih. Bangunan peradaban yang tidak bersendikan iman ilmu dan amal menjadi tidak lengkap, sehingga rapuh dan tidak tahan lama.
Kedua, bersyukur dengan memperbanyak ucapan alhamdulillahirabbil alamin kuta lahir dan dibesarkan dalam keluarga dan bangsa muslim yang apresiatif terhadap peradaban yang telah diraihnya.
Ketiga, mempelajari Islam dan memperkuat dasar-dasar peradaban, sehingga akselerasi dalam pencapaian peradaban Islam dapat dilakukan.
Keempat, melakukan analisis swot tentang potensi kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan peradaban Islam masa silam dan kondisi kekinian untuk menentukan sikap secara lebih cerdas dan bijak.
Kelima, berislam secara kaffah, sempurna dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam kehidupan pribadi, berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.