Keberadaan mufassir, ahli tafsir al-Qur`an di tengah-tengah umat sangat dibutuhkan. Mufassir ibarat pelita kehidupan yang memberi petunjuk umat dalam menguliti atau mengupas kandungan al-Qur`an. Dalam konteks kekinian, Indonesia bisa dikatakan dalam kondisi krisis mufassir.
Sudah lebih dari dua dekade, Indonesia mengalami krisis mufassir. Padahal sejak era sebelum kemerdekaan hingga tahun akhir tahun 1980, Indonesia banyak melahirkan mufassir-mufassir yang berkontribusi terhadap dakwah Islam. Bahkan mereka menghasilkan karya kitab tafsir yang fenomenal. Sebut saja misalnya Syaikh Nawawi Al Bantani dengan Tafsir Marah al-Labid li Kasyf al-Ma’na alQur’an al-Majid (1880), H. A. Hassan dengan Tafsir al-Furqon (1956), Buya Hamka dengan Tafsir Al-Azhar (1967), KH Muhammad Ramli dengan Tafsir Al Kitab al Mubin (1974), KH Bisri Mustofa dengan Tafsir al-Ibriz (1980) KH. Ahmad Hamid Wijaya dengan Tafsir al-Mahmudy (1989), dan masih banyak lagi.
Saat ini, umat Islam Indonesia hanya mengenal sosok Quraisy Shihab sebagai mufassir kontemporer. Untuk itu agar masa mendatang banyak lahir mufassir secara terus menerus sepanjang tahun, maka paling tidak dibutuhkan programprogram kaderisasi jangka panjang. Kita melihat para mufassir Indonesia sudah sedari kecil diperkenalkan oleh orangtuanya untuk belajar Islam. Buya Hamka misalnya. Oleh ayahnya, Buya Hamka telah ditanam nilai-nilai keislaman semasa usia anak-anak. Bahkan di usia mudanya Buya Hamka lebih banyak menghabiskan waktu di surau hingga menginap untuk memperdalam ilmu Islam.
Setelah itu Buya Hamka melanjutkan belajar Islam di Pesantren Thawalib, Padang Panjang, Sumatera Barat. Kemudian pada usia remaja, Buya Hamka memutuskan memperdalam ilmu alQur`an ke Mekkah, Arab Saudi.
Gerakan Magrib Mengaji yang sudah digulirkan di beberapa daerah di Indonesia tentunya patut di dukung. Selama ini kita melihat generasi muda kita saat waktu Magrib dan Isya lebih banyak memilih di depan televisi dibanding pergi ke masjid untuk mengaji.
Nah, penulis melihat Gerakan Magrib Mengaji ini adalah salah satu upaya untuk menumbuhkan kecintaan anak-anak dan remaja kepada masjid dan ilmu Islam. Agar lebih terukur, ada baiknya bila gerakan ini memiliki silabus atau kurikulum baku yang dapat diberlakukan di berbagai daerah.
Satu Gampong Satu Mufassir
Dari Gerakan Magrib Mengaji ini dapat dipantau anak-anak atau remaja yang berprestasi dan memiliki keinginan menjadi pakar al-Qur`an. Kemudian anak-anak ini bisa direkrut untuk dididik menjadi seorang mufassir, dengan cara disekolahkan di lembaga pendidikan Islam di Indonesia maupun luar negeri.
Baitul Maal Aceh (BMA) bisa memulainya. Misalnya dengan membuat program ‘Satu Gampong Satu Mufassir’. Program ini mirip dengan program ‘Satu Keluarga Satu Sarjana’ yang dirancang oleh Badan Amil Zakat Nasional (Baznas).
Calon-calon mufassir yang terseleksi dari berbagai gampong ini akan diberi beasiswa oleh BMA selama masa pendidikan di berbagai lembaga pendidikan Islam. Atau bisa juga BMA membuat lembaga ilmu Qur’an yang secara khusus melakukan kaderisasi calon mufassir. Program ini juga bisa dikerjasamakan dengan pihak-pihak lain yang memiliki cita-cita yang sama. (ibnu Syafaat)