Gema JUMAT, 21 Agustus 2015
Oleh Ahmad Faizuddin
Gema 17 Agustus akan senantiasa berkumandang setiap tahunnya. Di tahun 2015 ini bangsa Indonesia memperingati hari kemerdekaan yang ke-70 sejak 1945. Semua anak bangsa saling berlomba memeriahkan hari kemerdekaan. Upacara besar-besaran di gelar, pawai karnaval sepanjang jalan diadakan, dan aneka kegiatan diperlombakan. Gebyar keramaian dan kemeriahan menyelimuti suasana hari kemerdekaan. Apakah ini yang dinamakan dengan kemerdekaan? Bagaimana sebenarnya kemerdekaan dalam kacamata Islam?
Kemerdekaan adalah ni’mat terbesar dari Allah SWT. Kalau kita urutkan maka ni’mat kehidupan itu lebih besar daripada ni’mat kemerdekaan. Karena kalau kita tidak hidup maka tidak mungkin kita bisa merasakan merdeka. Namun tidak ada yang dapat menandingi besarnya ni’mat keimanan yang diberikan Allah SWT. Oleh karena itu kewajiban kita adalah mensyukuri ni’mat dan tidak mengkufurinya (Q.S. Ibrahim [14]: 7).
Islam datang dengan membawa pesan kemerdekaan, yaitu merdeka dari belenggu jahiliyah dan segala bentuk kemusyrikan terhadap Allah SWT. Rasulullah SAW menancapkan bendera kemerdekaan dengan membebaskan kota Makkah dan Madinah dari cengkraman kekufuran. Perjuangan beliau dilanjutkan oleh para Sahabat, Tabi’, Tabi’ Tabi’in dan ‘Ulama Salaf dan Khalaf sampai kepada generasi kita sekarang.
Pertaanyaanya adalah, apakah sekarang kita melanjutkan perjuangan mulia yang telah dirintis oleh Rasul SAW tersebut? Atau kita hanya duduk manis menjadi penonton menyaksikan segala permasalahan yang muncul di masyarakat? Atau malah kita bertepuk tangan bersorak gembira seolah-olah tidak peduli dengan apa yang terjadi?
Sebagai seorang Muslim, janganlah kita terlena dengan nyanyian kemerdekaan dengan segala kesenangannya saja. Betapa banyak orang yang berjuang untuk mendapatkan kemerdekaan, namun pada akhirnya mereka masih hidup dalam penjajahan. Penjajahan di zaman modern ini tidak mesti dengan senjata dan alat militer lainnya. Kita masih dijajah oleh produkproduk ekonomi, politik, pendidikan dan budaya dari bangsa-bangsa asing.
Salah satu bentuk penjajahan yang paling besar pengaruhnya sekarang adalah penjajahan budaya dan gaya hidup. Kita dibuai dan terlena dengan pola pikir hidup bebas sehingga merusak moral dan akidah generasi penerus bangsa.
Seorang penyair Arab yang bernama Ahmad Syauqi Beq mengingatkan dalam bait syairnya, “Kekalnya sebuah bangsa karena akhlaq yang mulia, apabila akhlaq hilang maka runtuhlah negara.”
Oleh karena itu, Islam datang untuk membebaskan manusia dari hawa nafsu dan akhlaq tercela. Dalam Islam, konsep merdeka itu diawali dengan terbebasnya ‘aqidah dari belenggu hawa nafsu. Kemudian diikuti dengan terbebasnya diri dari pengaruh lingkungan yang tidak sehat. Artinya Islam menekankan kemurnian tauhid dengan membebaskan manusia dari segala ketergantungan kepada selain Allah SWT. Inilah hakikat kemerdekaan yang sebenarnya.
Pada dasarnya setiap manusia yang lahir ke dunia ini adalah makhluk merdeka yang hanya terikat dengan Allah SWT (fitrah) (Q.S. Al-A’raf [7]: 172). Sayangnya setelah dewasa manusia cenderung berbuat sesuka hatinya dan mengambil jalan yang salah. Dalam surat Al-Balad [90] ayat 10–18 Allah berfirman, “Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (Yaitu) melepaskan budak dari perbudakan. Atau memberi makan pada hari kelaparan. (Kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat. Atau kepada orang miskin yang sangat fakir. Dan dia (tidak pula) termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang. Mereka adalah golongan kanan.”
Dalam ayat ini Allah SWT memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih diantara dua jalan, yaitu jalan kebajikan atau jalan kejahatan. Sayangnya kebanyakan manusia tidak memilih jalan yang baik. Allah mengingatkan bahwa jalan kebajikan itu sukar untuk dilalui, namun jalan ini akan membawa kepada kebahagiaan hidup.
Sebaliknya, jalan kejahatan itu mudah untuk dilalui, akan tetapi membawa kepada kesengsaraan hidup. Setelah terbebas dari belenggu hawa nafsu, maka kita diharapkan peduli dengan orang-orang di sekitar kita. Islam mengajarkan ummatnya untuk membebaskan manusia dari perbudakan, memberi makan anak yatim, membantu fakir miskin, dan saling mengingatkan di jalan kebenaran. Beginilah sepatutnya kita mengisi kemerdekaan.
Umar bin Khattab r.a. pernah berpesan, “Kita dahulu adalah kaum yang hina, tetapi Allah memuliakan kita dengan agama Islam. Maka sekiranya kita mencari kemuliaan daripada apa yang telah Allah muliakan kita dengannya, niscaya kita akan dijadikan hina oleh Allah” (riwayat al-Hakim dalam Al-Mustadrak).
Semoga kita bisa terus mempertahankan kemerdekaan yang telah kita capai dan mengisinya dengan hal-hal positif serta memberikan kontribusi yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan bangsa dan agama. Merdeka! Wallahu a’lam.
Penulis adalah mahasiswa program Doctoral di Kulliyyah of Education (KOED), International Islamic University Malaysia (IIUM)