Gema JUMAT, 03 JUNI 2016
Oleh Murizal Hamzah
Meugang adalah tradisi yang sudah ratusan tahun dijalankan dengan suka-cita di Aceh. Meugang adalah aktualisasi suami atau pria dipertaruhkan di depan istri, anak dan sebagainya. Namun dari segala-galanya meugang adalah salah satu ajakan untuk memberikan kepada yang tidak memiliki kemampuan untuk membeli sepotong daging. Paling tidak pada meugang, semua warga bisa mencicipi daging sapi atau lembu. Dengan kata lain, meugang adalah hari merasakan empuknya daging oleh setiap lapisan masyarakat.
Dalam adat Aceh, pelaksanaan meugang ditunaikan menjelang Puasa Ramadhan, Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha. Umat menyambut gembira Puasa dengan memotong lembu atau sapi. Kegembiraan menyambut kedatangan Ramadhan karena peluang meraih pahala sebanyak-banyaknya. Mengapa tidak, amalan dengan pahala sunnah selama 11 bulan namun pada 1 bulan yakni Ramadhan, ibadah sunnah namun pahalanya dinilai wajib.
“Katakanlah: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”. (QS. Yunus ayat 58).
Dari Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi RA. dari Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya surga memiliki sebuah pintu masuk yang dinamakan Ar-Rayyan. Hanya orang-orang yang banyak melakukan puasa saja yang memasuki surga melalui pintu tersebut pada hari kiamat. Tiada orang selain mereka yang bisa memasukinya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Pelajaran apa yang bisa dipetik dari pelaksanaan meugang ini? antara lain kita harus lebih peduli pada tetangga, saudara dekat maupun saudara yang tinggal jauh. Sungguh pada Meugang, anak-anak dilarang bermain ke rumah tetangga karena orangtuanya memasak setumpuk daging untuk dimakan bersama. “Wahai Abu Dzar ! Jika kamu masak sayur, maka perbanyaklah kuahnya dan perhatikanlah tetanggamu”. (HR. Muslim).
Melalui meugang ini tersurat pesan bahwa uamt Islam diberi kesempatan untuk bershadaqah. Jika kita peduli pada tetangga yakni 40 rumah ke depan, belakang dan samping, kita tidak lagi menyaksikan rumah kaum dhuafa yang tidak memiliki beras atau sekerat daging pada meugang. Sebab sesama umat Islam peduli pada tetangga. Maksudnya, Islam melarang kita tidur nyenyak sementara tetangga tidur menahan lapar. Sekedar mengingatkan, tetangga dalam Islam adalah 40 rumah ke kanan – ke kiri – ke depan dan ke belakang atau totalnya sekitar 160 rumah di sekitar kita. “Tidak masuk surga seseorang yang tetangganya tidak merasa aman dari kejahatannya” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Jika kita sepakat, meugang menjadi salah satu indikator membangun sifat persaudaraan dari sebuah jurong (loron) lalu menuju ke sebuah gampong, mukim hingga sebuah kabupaten. Jika setiap pemimpin dari lorong mampu mengetahui identitas setiap warga, maka hal-hal yang nestapa akan cepat terselesaikan. Sebab sejak akar rumput, warga sudah memiliki ikatan emosional yang kuat.
Tidak berlebihan kita awali dari meugang atau kenduri untuk merekatkan hubungan silaturrahmi. Saling bertegur sapa atau bertanya sahabat yang sudah seminggu tidak shalat berjamaah ke meunasah atau pintu saling menjaga silaturrahmi. Manusia lebih cepat diikatkan melalui urusan kenduri daripada urusan kerja. Jadilah meugang sesuatu yang menyenangkan karena menyambut kedatangan bulan segala penghulu yakni bulan Ramadhan. Marhaban yaa Ramadhan.