GEMA JUMAT, 10 MEI 2019
Ramadhan bulan menahan diri dari aneka ucapan, tindakan, dan sebagainya yang tidak berguna. Ramadhan juga menjadi bulan menahan diri menumpuk makanan sehingga bisa mubazir. Jika pada siang puasa, yang dilihat akan bisa dihabiskan ketika berbuka puasa. Faktanya, begitu berbuka, segelas teh hangat dan 3 butir kurma untuk sementara sudah bisa mengisi lambung. Lalu dilanjutkan dengan Magrib.
Realitas di rumah, meja makan sesak dengan sajian makanan. Dari air tebu, air timun, aneka kuliner dan sebagainya. Sejatinya menurut ilmu kesehatan berbuka dengan air putih serta beberapa biji kurma bukan dengan teh manis. Tidak langsung menyantap makanan berat seperti nasi dan lain-lain. Lebih bagus mengurangi jumlah menu di meja makan agar tidak mubazir adalah bagian dari mengendalikan nafsu makan.
Kita menyaksikan, selama Ramadhan, sifat mubazir makanan belum berkurang. Dunia mencatat, rakyat Indonesia termasuk nomor 2 terbanyak membuang makanan alias mubazir yang berakhir ke tong sampah. Di belahan dunia lain termasuk di bumi Ibu Pertiwi, warga lapar karena tidak makan.
Mengutip Journal of Sustainable Agriculture tahun 2012, disebutkan masalah kelaparan tidak akan bisa dilakukan tanpa berhenti membuat sampah makanan. Badan Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) PBB memperkirakan sepertiga makanan yang diproduksi terbuang atau hilang begitu saja setiap tahunnya. Jika dikonversikan menjadi uang, nilai makanan yang dibuang di seluruh dunia sekitar Rp 14.000 triliun.
Untuk konteks Indonesia, kelaparan dan membuang makanan ditulis dalam laporan oleh Barilla Center for Food & Nutrition tahun 2016 dan 2018. Food Sustainability Index yang disusun oleh Barilla Center for Food & Nutrition menunjukkan Indonesia di peringkat 45 di antara 67 negara jika dilihat presentase jumlah makanan yang hilang dibandingkan yang diproduksi secara domestik.
Sedangkan berdasarkan studi yang dilakukan oleh The Economist Intelligence Unit tahun 2016, Indonesia memproduksi sampah makanan terbesar kedua di dunia yaitu 300 kg. Peringkat pertama, Arab Saudi yakni rata-rata warganya membuang 427 kg makanan tiap tahun. ketiga, Amerika Serikat dengan 277 kg dan keempat Uni Emirat Arab 196 kg.
Mengapa warga membuang makanan yang tidak habis disantap karena rendahnya gaya hidup, tidak mampu mengendalikan nafsu untuk mengambil makanan yang sanggup dihabiskan.
Penyebab lain pangan terbuang adalah geografi yang tidak didukung dengan infrastruktur untuk mendistribusikan dan menyimpang makanan dari daerah produksi ke pusat populasi. Banyak makanan harus tertahan lama di perjalanan sehingga membuat kualitas pangan/buah-buahan rusak sebelum sampai ke konsumen.
Membeli makanan yang tidak habis dimakan yang besoknya berpindah ke tong sampah bukanlah sikap muslim yang menghargai makanan. Orangtua dulu sangat marah jika masih tersisa sebutir nasi di piring. Anak atau cucu disuruh licinkan piring dari nasi atau lauk pauk. Dengan kata lain, tidak ada makanan yang disisakan di piring,
Ambillah makanan yang hanya bisa dihabiskan. Jika mau tambah, bisa balik lagi termasuk memisahkan nasi ke piring lain karena terlalu banyak. Kita sudah paham, membuang sisa makanan termasuk menyia-nyiakan harta, sehingga Allah membencinya. Membuang sisa makanan berarti menjadi teman setan pula. Sebagaimana Allah berfirman:
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan.” (QS. Al Isra’: 26-27). [Murizal Hamzah]