GEMA JUMAT, 22 MARET 2019
Prof. Dr. Tgk. H. Azman Ismail, MA (Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman)
Surat al-Furqan ayat 35-36
Dan sesungguhnya Kami telah memberikan al-Kitab (Taurat) kepada Musa dan Kami telah menjadikan Harun saudaranya, menyertainya sebagai wazir (pembantu). Kemudian Kami berfirman kepada keduanya: “Pergilah kamu berdua kepada kaum yang mendustakan ayat-ayat Kami”. Maka Kami membinasakan sehancur-hancurnya.
Pada ayat ini Allah menceritakan bagaimana Nabi Musa AS dan Harun AS menjadi pembawa risalah ilahiyah kepada Firaun dan kaumnya. Perihal Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS sebagai nabi yang diutus kepada kaumnya dan Firaun, banyak diceritakan dalam al-Qur’an, bahkan pada kitab sebelumnya, sebagaimana dalam Injil, juga disebutkan tentang kedua Nabi ini.
Kaum muslimin yang mempelajari al-Qur’an, tafsirnya, hadits dan riwayat, pasti telah mengenal perjalanan Nabi Musa AS dan juga Nabi Harun AS. Dalam pelajaran Sirah Nabawiyah dengan runtut diceritakan bagaimana asal muasal, sewaktu kecil, remaja dan dewasa sosok Nabi Musa AS, bahkan al-Qur’an menjelaskan di banyak tempat tentang Nabi mulia ini. Kadang-kadang diulang kisah yang sama, namun dengan redaksi ayat yang berbeda. Ini menunjukkan keutamaan Nabi Musa dalam perjuangannya menegakkan kalimatul haq.
Jika kita ingin melihat i’tibar dari kisah Nabi Musa dalam berdakwah, kita akan melihatnya dari berbagai sisi sudut pandang. Dari sudut pandang sosial, Nabi Musa adalah sebagai pemimpin untuk kaumnya yang tertindas (Bani Israel) yang ditindas oleh tirani Fir’aun. Tugas ini sangatlah berat, bahkan dalam proses untuk membenahi kaumnya agar memiliki persatuan dan kesatuan saja, Nabi Musa sangatlah lelah dalam menggembleng mereka. Pengkhianatan dari kaumnya, ketidakpercayaan, ketidakacuhan, dikecewakan dan sebagainya, merupakan ujian yang jarang dapat dilalui oleh manusia lain. Nabi Musa AS adalah pemimpin dalam masyarakatnya yang membebaskan belenggu perbudakan. Nabi Musa AS adalah sosok pembangkang yang berani melawan kekuatan adidaya ketika itu (Dinasti Fir’aun). Tapi demi kebenaran ia tidak goyah meski banyak mendapat halangan dan rintangan dalam dakwahnya. Kita memerlukan juru dakwah seperti Musa, tidak hanya berdakwah tentang kebenaran, tetapi juga berdiri dengan tegak menghadapi segala bentuk halangan dan rintangan. Juru dakwah seharusnya adalah orang paham kondisi ekonomi, sosial, politik dan hal yang berkaitan dengan mad’uw (yang didakwahi), tidak terbatas pada kemampuan orasi di mimbar, tetapi juga mengimplementasikan kebenaran dalam tingkah laku sehari-harinya. Terselip pesan di akhir ayat di atas, bahwa tidak ada pembangkangan terhadap kebenaran yang kekal, semua binasa, berakhir dalam kebinasaan. Wallahu a’lam.