Saya dikirimi sebuah video pendek oleh seorang teman, video tentang evakuasi jenazah yang baru menjadi korban Tsunami Aceh tahun 2004 lalu. Dalam tayangan singkat tersebut tampak beberapa orang lelaki sedang mengangkat tubuh-tubuh yang bergelimpangan di antara tumpukan reranting kayu yang dibawa bersama air bah. Salah seorang dia antara lelaki itu adalah NA. Riya Ison, pria kelahiran Bandar Lampung yang kini berusia lebih setengah abad.
Sosok pecinta hewan kucing ini menceritakan awal dirinya tertarik dengan tanah rencong, saat mengikuti program pertukaran Pemuda Antar Provinsi (PPAP) Lampung – Aceh sejak Juli-De-sember tahun 1995. Dia bersama sejumlah pemuda lainnya dari berbagai daerah di Lampung ini kemudian ditempatkan di beberapa desa dalam Kota Banda Aceh dan Aceh Besar. Beruntung, bang Ison sapaan sehari-hari oleh sejawatnya, sebelum jadwal kembali ke daerahnya, ia terpikat dan meminang Bunga Desa asal Gampong Lamkawe tempat tinggalnya selama program PPAP berlangsung.
Hasil pernikahannya dengan Dian Darlina, keduanya dikarunia 4 putra-putri, yaitu Nadhila, Fathiya, Raina dan Dayan. Kepada Tabloid Gema, ASN pada Rumah Sakit Jiwa Aceh ini menceritakan bahwa pertama kali bergabung di dunia jurnalis, dia bertemu dengan salah seorang pengurus sebuah Ormas Islam, yang mengetahui dirinya punya skill mengetik cepat sistem sepuluh jari.
Dengan modal itu, semua berita dan data yang sampai di meja redaksi diketik ulang oleh Ison dengan baik dan cepat. Begitu pula, dalam dunia relawan Ison menmenjadi salah seorang senior relawan Palang Merah Indonesia (PMI) Aceh, juga terkoneksi oleh profesinya sebagai jurnalis saat itu. Rubrik Kubah di Tabloid Gema Baiturrahman jadi tugas utama dalam karya jurnalistiknya, termasuk menulis profil tentang Ketua Harian PMI Aceh.
Sejak kecil, lelaki yang tidak selesai kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Bandar Lampung ini, sudah meminati nilai nilai kerelawanan. “Dulu saya diminta Pak Sanusi Maha (Ketua Harian PMI Aceh saat itu) untuk ikut latihan Satgana,” kisahnya. Lalu ia diajak bergabung sebagai relawan PMI. Sesaat menjalankan tugas relawan lapangan menanggulangi bencana baik ekses konflik maupun bencana alam, ia ditunjuk memegang jabatan sebagai Hubungan Masyarakat (Humas).
Namun tenaganya tetap dibutuhkan di luar tugas rutin di markas. Saat aksi evakuasi, misalnya sekaligus mendokumentasikan kegiatan relawan. Selama menjadi wartawan dan relawan, banyak momen-momen penting dalam sejarah konflik Aceh yang mulai merambah sampai Banda Aceh pada awal tahun 2000-an sampai dengan terjadinya musibah maha dahsyat Tsunami Aceh yang terlibat langsung di dalamnya. “Saya menjadi saksi sejarah bagaimana pahit getir nya perjuangan teman-teman wartawan dan relawan di era konflik,” ucapnya lirih.
Betapa tidak, demi menjunjung tinggi nilai nilai kemanusiaan, para relawan sering mendapat teror dan ancaman. Setelah menyerahkan dirinya untuk kemanusiaan, nyawa relawan pun saat itu turut menjadi taruhannya. “Dalam aksinya, relawan tidak memandang status dan latar belakang dari korban. Hampir setiap hari, ada saja mayat dan korban lukaluka yang harus kami evakuasi,” tutur penghobi badminton ini dengan mata berkaca-kaca.
Salah satu pengalaman yang tidak pernah dilupakan seumur hidupnya adalah ketika terlibat dalam pembebasan Fery Santoro, kamerawan RCTI di Simpang Timun, kawasan Peudawa
Kabupaten Aceh Timur. Ison bersama teman-temanya dari organisasi pers dan organisasi Palang Merah Internasional, akhirnya berhasil membebaskan Fery, berkat upaya diplomasi paling menegangkan pada Mei 2004.
Pada hari-hari pertama musibah gempa dan tsunami Aceh, Ison bersama temanteman relawan membantu mendirikan beberapa posko relawan PMI di berbagai tempat. Putra kedua dari RM. Orpan Djauhary-Hamsiyati ini juga aktif dalam bidang legislasi dan advokasi penyelesaian kasus relawan dengan pihak lain, serta keterlibatannya dalam penanganan pengungsian ekses konflik.
Semua itu dilakukan ‘Abah’ Ison berkat panggilan moto dan pegangan hidupnya yaitu, selama diamanatkan emban misi kemanusiaan maka sulit dan rasa takut menjadi hilang. Semoga nilai-nilai kemanusian, dan jiwa kerelawanan dapat ditularkan kepada generasi selanjutnya. Ditengah hantaman hidup penuh dengan pragmatis dan individualis.Marmus