Gema JUMAT, 25 Desember 2015
Sudah 11 tahun berlalu pasca bencana tsunami , masih terngiang diingatan Nadia Husna Yanti, salah satu korban tsunami. Sejak umur 8 tahun harus menangisi kepergian kedua orang tua beserta keempat saudara kandungnya hilang tersapu gelombang 26 Desember 2004 silam.
Pasca tsunami, ia diselamatkan oleh seorang bapak, akhirnya tinggal dengannya di Bireuen. Namun sang bapak penolong itupun meninggal, jadi hak asuh berpindah kepada isteri bapak tersebut. Lalu nenek kandungnya mengambil Nadia dari keluarga tersebut sehingga ia kembali ke walinya.
Lalu Nadia ditempatkan di panti asuhan Mina Raya Padang Tiji bersama korban tsunami dan anak yatim piatu lainnya. Lagi-lagi ia harus pindah tempat berteduh karena panti asuhan hanya menerimanya hanya sampai usia di kelas 3 SMP, maka ia pun kembali kerumah kakak ayahnya. Ia harus rela tinggal nomaden, berpindah-pindah menginap dari satu saudara ayah ke saudara ayahnya yang lain hingga sampai sekarang.
Dan lagi, Nadia yang kini sudah berusia 18 tahun harus menelan pahit kalau warisan tanah dari ayahnya di Punge Jurong, ternyata adalah tanah milik orang lain. Kejadiannya, ketika pasca tsunami, dimana nadia dibantu uruskan bantuan rumah oleh kakak dari ayahnya, akhirnya dapat bantuan dan sudah dibangun rumah diatas tanah tersebut, namun tiba-tiba pemilik tanah itu mengaku kalau tanah itu miliknya. Setelah ditanyakan kepada pak geuchik, maka pak geuchikpun meng-iyakan kalau itu tanah milik sang pemilik tanah. Nadia sangat terkejut, tapi apalah mau dikata karena saat itu Nadia masih Kelas 4 SD.
“Kemarin dapat bantuan rumah, dibuat rumahnya tapi salah ditanah orang, rumah itu jadi milik pemilik tanah itu, Nadia hanya dibayar 20 juta oleh pemilik itu”, ujarnya, ketika itu ia hanya tahu cuma tanah itu saja warisan ayahnya.
Untuk keinginannya bisa memiliki rumah bantuan agar bisa berteduh, bersama kakak dari ayah datang ke Banda Aceh, namun harus kecewa lagi,
“Dengar-dengar mau dikasih bantuan, lalu bersama kakak ayah datang ke Banda, karena sudah lelah diurus berkali-kali, susah juga, akhirnya kakak ayah tidak sanggup bantu,” kata anak dari almarhum Muhammad Jamil,yang dulu seorang penjual rempah-rempah dan almarhumah Muzaiyannah ini.
Lalu kabar bantuan rumah dari Baitul Mal sampai ke telinga Nadia, sehingga ia coba mengurus berkas agar bisa dapat bantuan rumah, namun terhambat oleh pembuatan KK dan KTP yang berbelitbelit. Nadia yang hidup seorang diri dan memang lahir di Punge Jurong tidak bisa mendapat KK dan KTP Punge Jurong.
Nadia berharap jika bisa dapat bantuan rumah, maka ia bisa mandiri dan tidak bergantung lagi dengan saudara ayahnya. Kinipun diusia remaja, Nadia memiliki segudang mimpi khususnya
mengecap pendidikan di perguruan tinggi “Saya dibiayai kuliah oleh kakak ayah, namun non aktif bulan oktober lalu karena sudah tidak ada biaya” ujarnya merasa malu minta uang kuliah ke saudara ayah. Meski berhasil kuliah di Jurusan Farmasi di STIKES Citra Bangsa Sigli, di semester dua harus berhenti untuk sementara waktu karena kendala biaya. Ia sangat berterima kasih kepada kakak ayah yang sudah membiayai sekolah hingga bisa sekolah ke jenjang SMA, tapi untuk biaya kuliah, bagi Nadia sangat malu untuk minta kembali. Itulah alasan kenapa kuliah diambil non aktif, karena tidak cukup biaya kuliah, “
Uang pembangunan tiga juta, ditambah harus bayar SPP jadi tidak cukup lagi, karena kampus tidak kasih keringanan bayar sehabis ujian, jadi tidak bayar SPP. nadia hingga sekarang tidak bisa ikut ujian,” tambahnya yang ingin jadi orang sukses, ingin jadi apoteker jika tamat kuliah kelak.
Ia berharap sebagai anak Aceh yang juga korban tsunami, hidup sebatang kara, agar ada kepedulian Pemerintah Aceh untuk meringankan pengurusan rumah bantuan baginya, khususnya KTP dan Kartu Keluarga. (Nelly)