Nasib Qanun Hukum Keluarga

Aceh yang merupakan provinsi yang memiliki keistimewaan dan kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Secara khusus, penerapan syariat islam di tanah serambi mekkah ini menjadi salah satu solusi dalam mengatasi berbagai permasalahan, termasuk dalam hal penyelesaian masalah […]

...

Tanya Ustadz

Agenda MRB

Aceh yang merupakan provinsi yang memiliki keistimewaan dan kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Secara khusus, penerapan syariat islam di tanah serambi mekkah ini menjadi salah satu solusi dalam mengatasi berbagai permasalahan, termasuk dalam hal penyelesaian masalah keluarga.
Secara konstitusional Pasal 28B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) telah mengamanatkan bahwa “Setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.” Sebagai derivasi dari ketentuan tersebut, maka dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) dijelaskan bahwa “Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”. Dengan demikian Ketahanan Keluarga merupakan salah satu bentuk perwujudan amanat konstitusi dan harus diatur dalam bentuk Undang-Undang.

Bardan Sahidi

Anggota Komisi 1 DPR Aceh, Bardan Sahidi mengatakan bahwa keberadaan Qanun hukum keluarga di Aceh sangatlah penting. Hal ini bertujuan untuk menjamin bahwa fungsi keluarga mutlak diperlukan dalam tatanan kehidupan sosial kemasyarakatan. Keluarga adalah organisasi terkecil dalam pemerintahan kita. Bahkan data kependudukan berbasis Kartu Keluarga (KK) yang harus diperbaharui bila ada perubahan,. Hal tersebut membuktikan bahwa keberadaan keluarga dalam masyarakat sangat penting untuk dilindungi.
Namun dalam penerapannya, menurut Bardan, keberadaan qanun tersebut masih jalan ditempat, pada tataran implementasi pemerintah belum hadir. Hal ini dapat dilihat ketika permasahan keluarga muncul, bahkan angka kekerasan dalam rumah tangga  (KDRT),  perceraian dan permasalahan sosial bermula dari tidak harmonisnya rumah tangga. “Kehadiran qanun ini masih menjadi payung hukum bagi para pihak dan pemangku kepentingan” ujarnya.
Dari sisi yang berbeda, Dian Rubianty, SE.Ak, MPA; Pendiri ISSED mengatakan rancangan Qanun  Keluarga mendefinisikan “Hukum Keluarga (Ahwal Al-Syakhshiyah)” sebagai “ketentuan hukum Islam yang mengatur tentang hubungan perkawinan, keturunan (nasab) dan kekerabatan” (Pasal 1, Poin 4, 2019). Merujuk pada definisi tersebut dan menghubungkannya dengan tujuan pelaksanaan syariat Islam, agar manusia dapat mencapai maslahah (kebaikan) di dunia dan akhirat, maka kedudukan Qanun Hukum Keluarga sebagai sebuah pedoman hukum tentu diperlukan.
Untuk secara umum mengatur kehidupan berkeluarga di Aceh, dimulai dari tata cara pernikahan, hak dan kewajiban setiap anggota keluarga, hukum nafaqat, hukum waris, perceraian, dan lain-lain. Selain itu, Qanun Hukum Keluarga ini juga berfungsi memberi perlindungan dan jaminan penegakan hukum yang adil bagi setiap anggota keluarga, baik keluarga yang dibentuk melalui ikatan perkawinan, maupun keluarga yang terikat karena hubungan darah (nasab) dan kekerabatan, jika kemudian, misalnya, terjadi pelangaran hak dan penelantaran kewajiban dari salah satu anggota keluarga.
Dian Rubianty, SE.Ak, MPA

Dian memaparkan berkenaan dengan ikhtiar bersama membangun ketahanan keluarga di Aceh,  secara lex generalis kita perlu merujuk pada UU Nomor 52 Tahun  2009 Tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan  Keluarga, BAB I Pasal 1 (point 11), yang menyatakan:
“Ketahanan dan kesejahteraan keluarga adalah kondisi keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik materil guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan kebahagiaan lahir dan batin.”
KPPPA-RI kemudian membangun sebuah konsep ketahanan keluarga berdasarkan 5 dimensi, dimana pondasinya adalah dimensi “legalitas dan keutuhan keluarga”, yang didukung oleh 4 pilar utama yaitu ketahanan fisik, ketahanan ekonomi, ketahanan sosial-psikologis dan ketahanan sosial budaya. Jika “Ketahanan Keluarga” diibaratkan sebagai sebuah rumah oleh KPPPA-RI, maka dalam analogi tersebut, Qanun Hukum Keluarga adalah pagarnya. Fungsi pagar adalah memberi perlindungan yang adil pada semua penghuni rumah, apapun kedudukan mereka dalam rumah tersebut. Mengingat fungsi pentingnya untuk melindungi, tentu Qanun Hukum Keluarga perlu disusun secara komprehensi, tidak hanya mengikuti persyaratan yuridis-formal, namun perlu juga melihat aspek-aspek filosofis dan perubahan sosial yang terjadi di Aceh.
Berdasarkan UU tersebut di atas dan langkah strategis yang ditetapkan oleh salah satu kementrian terkait, kita kemudian melihat, bagaimana kondisi keluarga di Aceh saat ini? Mirisnya, Satistik Keluarga Aceh menunjukkan rentannya ketahanan keluarga di Aceh. Akhir tahun lalu, ICAIOS bekerja sama dengan Prodi Sosiologi Agama UIN Ar Raniry dan American Friends Service Communities (AFCS) menerbitkan buku berjudul “Keluarga dan Relasi Kuasa dalam Masyarakat Aceh”, yang merupakan sebuah tinjauan ulang dengan pendekatan interdisipliner, dengan harapan dapat memberi perspektif tentang kehidupan berkeluarga di Aceh saat ini.
Pada bagian pertama buku ini, dapat dibaca bahwa Statistik Keluarga Aceh menunjukkan angka KDRT yang meningkat, indikator kesehatan Ibu-Anak yang masih banyak angka merahnya, angka perceraian yang tercatat di Mahkamah Syar’iyah juga cenderung meningkat, dan masih ada beberapa indikator memperihatinkan lainnya, yang digunakan untuk mengukur ketahanan keluarga Aceh (Mahdi dan Mahdi, 2019).
Jika kita memang serius berikhtiar untuk membangun ketahanan keluarga di Aceh, maka kebijakan dan program-program terintegrasi yang dirancang haruslah berbasis data. Selain itu, mengingat kompleksitas masalah yang kita hadapi, kebijakan yang berkenaan dengan kehidupan berkeluarga tidak bisa diimplementasikan melalui tata laksana kepemerintahan yang terpotong-potong, namun perlu dilaksanakan melalui model kolaborasi antar-instansi, secara terintegrasi. Pertanyaan selanjutnya, siapkah semua pemangku kepentingan berkolaborasi untuk melaksanakan upaya terintegrasi dalam membangun ketahanan keluarga di Aceh? Mampukan kita mengesampingkan ego-sektoral, kepentingan kelompok, rasa keberhakan dan tantangan non-sistemik lainnya?
“Selama proses penulisan buku bersama ICAIOS dan AFSC, saya banyak belajar tentang sejarah maqasyid syariah. Saya kagum ketika membaca bagaimana ulama fiqih yang juga pakar dari berbagai disiplin pengetahuan, mengembangkan sebuah pedoman berperilaku secara sistematis dan kokoh, berlandaskan Al Quran dan Al Hadits”. Bagaimana pemikiran Imam Syafei kemudian menjadi dasar pengembangan yang dilakukan oleh Imam Al Ghazali. Bagaimana kemudian As Syatibii menyempurnakan lebih lanjut dengan melihat perubahan sosial yang terjadi. Begitu juga ulama pembaharu maqasyid syariat seperti Yusuf Qardhawi yang kemudian mengembangkan 5 pilar maqasyid syariah.
Teknologi adalah fenoma zaman kini yang tidak bisa kita hindari, dan membawa perubahan yang masif dalam kehidupan kita, termasuk dalam kehidupan berkeluarga. Untuk Aceh, ada faktor konflik dan bencana yang juga tidak bisa kita kesampingkan, membawa dampak perubahan. Kepala rumah perempuan adalah salah satu dampak konflik dan bencana, yang mungkin sebelumnya tidak secara khusus diatur dalam perundangan, baik secara hukum nasional maupun secara khusus melalui qanun.
Hal-hal seperti ini adalah bagian-bagian tak terpisahkan dari membangun ketahanan keluarga, karena ternyata kondisi Aceh yang khusus membawa bentuk keluarga yang tidak saja hanya terdiri dari Suami, Istri dan Anak-anak, atau suami dan anak-anak, atau istri dan anak-anak, tapi ada juga keluarga yang hanya tediri dari nenek dan cucu. Apakah ini akan diperlakukan sebagai sebuah unit bernama keluarga di hadapan Hukum Keluarga? Tidakkah mereka juga bagian dari ikhtiar membangun ketahanan keluarga di Aceh? Sebenarnya bicara tentang topik ini sulit sekali disampaikan dengan penjelasan yang singkat, karena akan menimbulkan pemahaman partial, praktik beragama yang sepotong-sepotong, yang sering membawa kerugian karena ajaran Islam menjadi tidak utuh, tidak damai, padahal ajaran Islam adalah ajaran sempurna yang rahmatan lil ‘alamin. LIZA
 
 
 

Dialog

Khutbah

Tafsir dan Hadist

Dinas Syariat Islam

Jaga Ukhwah

Gema, 27 Januari 2018 Oleh Dr. Sri Suyanta (Wakil Dekan I Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Ar-Raniry) Dalam praktik pada ranah sosiokultural, seringkali memelihara jalinan

Aceh Jadi Model Branding Ekonomi Syariah Dunia

Bank Indonesia memiliki peran dengan semua mitra otoritas ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia, terakhir pak presiden mengatakan, Indonesia harus menjadi acuan bagi ekonomi dunia.

Kejahatan juga kembali

Gema, 06 Februari 2018 Oleh Dr. Sri Suyanta Bila berbuat kebaikan itu keberkahannya kembali kepada diri sendiri, maka bagaimana dengan kejahatan yang kita lakukan? Demi

Menuju Islam Khaffah

Tabloid Gema Baiturrahman

Alamat Redaksi:
Jl. Moh. Jam No.1, Kp. Baru,
Kec. Baiturrahman, Kota Banda Aceh,
Provinsi Aceh – Indonesia
Kode Pos: 23241

Tabloid Gema Baiturrahman merupakan media komunitas yang diterbitkan oleh UPTD Mesjid Raya Baiturrahman

copyright @acehmarket.id 

Menuju Islam Kaffah

Selamat Datang di
MRB Baiturrahman