Gema JUMAT, 7 Agustus 2015
Oleh : Sayed Muhammad Husen
Sekolah adalah pusat pembudayaan. Dari lingkungan sekolah karakter pelajar dibentuk, prilaku ditata dan nilainilai diwariskan. Sekolah mensosialiasikan budaya hidup bermartabat, menghargai kemanusian dan kemajuan. Sekolah pula yang melestarikan ajaran agama (baca: Islam), sehingga sekolah berfungsi strategis dalam membangun budaya Islam dan “memproduksi” manusia taqwa sebagai khalifah Allah Swt di bumi.
Karena itu, kebijakan Pemerintah Kota Banda Aceh memisahkan pelajar laki-laki dan perempuan pada sekolah menengah atas, haruslah kita lihat dalam kerangka pembudayaan ajaran Islam. Dalam hal ini, Islam tak membenarkan bercampur baur anak laki-laki dan perempuan yang telah baligh, baik dalam penentuan kamar tidur dalam keluarga, di lingkungan pendidikan dan bahkan dalam pergaulan sehari-hari.
Upaya memisahkan pelajar laki-laki dan perempuan dalam proses belajar mengajar sebenarnya bukan hal baru di Aceh, sebab hal ini telah didakwahkan oleh kalangan dayah ratusan tahun lalu. Hanya saja, dakwah ini seakan tak terdengar, sebab sejak masa kolonial hingga sekarang, sistem pendidikan kita belum islami. Belum sepenuhnya mempraktekkan sistem pendidikan Islam. Tapi yang kita tahu, komunitas dayah terus berupaya meyakinkan institusi sekolah, bahwa pemisahan itu lebih banyak manfaatnya.
Melihat perkembangan fisik dan psikologis pelajar tingkat sekolah menengah pertama dan menengah atas, kita menilai, pemisahan kelas laki-laki dan perempuan akan menuai manfaat dalam bentuk peningkatan prestasi, konsentrasi belajar dan yang lebih penting adalah sebagai bentuk implementasi nilai-nilai Islam. Pelajar secara langsung berkesempatan melakukan internalisasi nilai-nilai Islam di lingkungan sekolah.
Salah satu kewajiban sekolah adalah melakukan pembudayaan dan memberi pengalaman kepada peserta didik tentang bagaimana ajaran Islam diamalkan. Dalam konteks ini kita melihat sekolah telah melakukan praktek ibadah shalat berjamaah, peringatan hari-hari besar Islam, pendidikan akhlak (karakter), pesantren kilat, membina sikap peduli, menggunakan pakaian islami, hingga penambahan ekstra kurikuler agama dalam bentuk aktivitas Rohis (Rohani Islam).
Untuk itu, islamisasi sekolah ini patut terus dilengkapi dengan berbagai upaya lainya, diantaranya: pemisahan pelajar laki-laki dan perempuan. Maka tak cukup hanya tingkat SMA saja, tapi harus dilakukan tingkat SMP dan SMA di seluruh Aceh.