TIdaK jarang orang mengemis karena pendapatannya yang menggiurkan. Terkadang menjadi pengemis bukanlah sebuah pilihan. Tetapi, siapa saja yang mengemis tidak akan lupa memilih tempat yang strategis seperti persimpangan lampu lalu lintas, kedai kopi, masjid dan sebagainya.
Rini (nama samaran, 37) penderita tuna netra misalnya. Ia sudah mengemis di Simpang Surabaya selama tiga bulan. Tidak pernah ada pihak yang melarangnya mengemis di sana. Sehari uang yang ia dapatkan tidak kurang dari Rp 100 ribu. Hanya dalam jangka waktu tiga jam. Jika dikalkulasikan selama sebulan, pendapatannya sebesar Rp 3 juta. Melebihi Upah Minimun Provinsi (UMP) Aceh 2015 sebesar Rp 1,9 juta. Itu pun tidak semua pekerja mendapatkan upah sesuai standar itu.
Rini mengaku sudah tiga bulan mengemis di Simpang Surabaya. Ketika pergi mengemis, ia diantar oleh tukang becak langgananannya. Biasanya diantar sekitar pukul 08.30 dari Blang Bintang, Aceh Besar. Ia pulang pukul 11.00, paling telat pukul 11.30. Setelah itu pengemis perempuan lain yang akan berada di sana.
Ia menegaskan bahwa alasan dia mengemis karena terhimpit oleh kebutuhan ekonomi. Apalagi ia harus menyekolahkan kedua anak perempuannya di jenjang SD dan SMA. Ia pun tidak ingin mereka bekerja karena belum cukup umur. “Saya mengemis bukan untuk mencari kekayaan. Jika tidak percaya anda boleh datang ke rumah saya. Mungkin anda akan sedih melihat rumah saya,”tantang wanita keturunan Lampung ini.
Dijelaskan, ia sangat bertekad untuk menyekolahkan dua anaknya hingga menamatkan jenjang SMA. Setelah itu mereka boleh memilih ingin menjadi seperti apa ke depannya. Rani tidak sendiri membesarkan buah hatinya ini. Ia memiliki suami yang juga tuna netra. Suaminya bekerja sebagai tukang pijat. Penghasilan
suaminya dibagi lagi dengan istrinya yang lain. Sayangnya, pelanggan jasa pijat menurun. Sehingga hal ini menjadi alasan lain Rani mengemis.
“Istri suami saya yang satu lagi orangnya lemah. Dia tidak punya kerja,”tuturnya.
“Kalau suami saya mendapat dua pasien sehari, saya tidak akan pernah mengemis lagi. Capek saya seperti ini. Harus berpanaspanasan,”imbuhnya.
Mertuanya sudah tahu bahwa Rani menjadi pengemis. Mereka sempat memintanya berhenti dari pekerjaan ini. Rani memutuskan untuk berhenti asalkan mertuanya mau memberikan uang Rp 450 ribu kepada kedua anaknya tiap bulan. Permintaan Rani ini tidak dapat disanggupi mertuanya. Akhirnya, hingga saat ini mertuanya tidak pernah lagi melarang Rani mengemis.
Para pengemis di Simpang Surabaya seringkali makan di warung nasi milik Narwan (49). Otomatis ia banyak mengetahui tentang pengemis. Katanya, tidak semua orang mengemis karena terhimpit ekonomi. Tetapi mereka mengemis karena sudah enak mendapat uang dengan cara mudah. Ia sangat geram ketika melihat satu keluarga yang ia kenal turut melakoni pekerjaan ini. Padahal, mereka memiliki kondisi fisik dan jasmani yang sehat.
Rata-rata pengemis datang ke Simpang Surabaya menggunakan becak. Tukang becaknya terkadang adalah sang ayah yang datang bersama anak dan istrinya. Di saat anak dan istrinya mengemis, si ayah tidur di becak menunggu mereka siap.
Tambahnya lagi, setiap pengemis memiliki ponsel. Sesama pengemis, ponsel sangat berguna untuk memberikan peringatan jika ada razia Gelandangan dan Pengemis (Gepeng). “Saat di Simpang Lima ada razia, pengemis di Simpang Surabaya sudah tahu,”ucapnya. Dalam sehari pengemis di Simpang Surabaya selalu bergantiganti. Mereka sudah memiliki shift tersendiri.
Ia berharap Dinas Sosial bisa mengentaskan permasalahan pengemis di Banda Aceh. Terlebih kepada orang yang jelas-jelas terpaksa melakoni pekerjaan ini. Menurutnya Dinas Sosial belum bekerja maksimal. Zulfurqan