FoTo seorang anak SD perempuan yang mengacungkan jari tengahnya pada seorang nenek pengemis di atas trotoar, sempat mejadi perbincangan netizen internasional. Foto ini seolah mewakili buruknya karakter bangsa ini. Betapa tidak, anak-anak yang seharusnya menjadi ikon jiwa yang bersih dan berselimut kasih sayang, ternyata tega melecehkan nenek renta yang mengemis.
Kita tentu tak ingin meratapi kasus-kasus amoral dan penindasan martabat kemanusiaan yang terjadi di hampir seluruh lini kehidupan bangsa ini. Karena, membicarakan kasus-kasus tersebut berarti sama saja dengan melupakan kerja keras nan panjang para ulama di negeri ini yang sudah berpeluh payah membina ummat. Juga sama saja menyamaratakan mereka yag sudah terbina dengan nilai-nilai akhlaqul karimah dengan mereka yang masih asing dengan nilai Ilaahiyyah. Yang perlu kita bicarakan saat ini adalah bagaimana meresapkan kembali tuntunan Allah SWT dan Rasul-Nya, hingga menjadi aqidah yang berbuah karakter positif dan akhlaqul karimah sebagai tindakan nyata.
Membuka kembali sejarah Ummar bin Khaththab dimasa jahiliyyahnya yang berkarakter bengis, kasar, dan bersuara keras. Umar ra bahkan pernah membunuh balita perempuannya yang lucu dengan menguburnya hidup-hidup.
Akan tetapi, setelah Islam menyinari hatinya, Ummar ra berubah total menjadi manusia yang lembut dan penuh belas kasih. Beliau dengan tanggung jawab dan kasih sayang memanggul sendiri karung gandum dan bahan makanan lain, kemudian memasakkan dengan tangannya sendiri untuk seorang ibu dan anak-anaknya yang kelaparan. Umar ra yang terkenal dengan suaranya yang menggelegar pun selalu merendahkan dan melembutkan suaranya di hadapan Rasulullah Saw.
holistik islami
Perubahan karakter dengan demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil, susah, dan butuh waktu lama. Sebaliknya perubahan karakter adalah sesuatu yang akan menjadi nyata, mudah, dan hanya membutuhkan waktu yang relatif singkat, kurang-lebih 23 tahun; bila disamakan dengan waktu kebersamaan Umar ra dengan Rasulullah Saw.
Inilah hebatnya masalah pendidikan karakter dalam Islam. Pendidikan karakter dalam Islam tidaklah terbatas pada masalah berpikir dan berperilaku semata. Namun, sebelum lebih jauh membahas, ada baiknya kita melihat terlebih dahulu tentang definisi karakter oleh Kemendiknas RI. Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.
Dalam Islam, tarbiyah atau pembinaan jiwa seorang manusia selain membina cara berpikir dan berilaku yang menjadi ruang lingkup karakter, juga membina satu unsur lainnya, yang sebenarnya merupakan unsur terpenting dalam kehidupan manusia yaitu qalbu atau hati.
Pembinaan hati inilah yang memegang peranan penting dalam perubahan karakter atau lebih tepatnya akhlaq para sahabat, termasuk Umar bin Khaththab, secara holistik. Pembinaan hatilah yang membuat seseorang mau dan mampu menerima kebenaran dan kebaikan, meskipun akalnya menolak. Seperti halnya ketika Allah SWT mengharamkan riba pada kaum Muslimin. Secara logis dan hitungan matematis, kaum Muslimin pasti akan merugi karena harus meninggalkan keuntungan riba yang mereka miliki pada orangorang yang meminjam. Akan tetapi, mereka juga harus mengembalikan pinjaman mereka, sesuai dengan perjanjian. Inilah “bencana” secara ekonomis. Namun, karena hati mereka telah terbina, maka tidak ada sikap lain yang ditunjukkan oleh kaum Muslimin ketika itu kecuali kepatuhan menjalankan perintah Allah SWT dan meninggalkan riba.
Bila bangsa ini hendak merenkonstruksi karakter, hingga menjadi bangsa yang berkarakter positif dan berakhlaq mulia, maka bangsa ini juga tak boleh lupa, bahwa Yang bisa melembutkan hati yang keras, Yang bisa membuat akal menerima fakta dan ke benaran, Yang bisa menggerakkan tindakan menjadi penuh kebaikan, hanyalah Allah SWT saja. Hanya Tuhan semesta alam saja. Sebagaimana Allah SWT berfirman, “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.” (Qs. Ali Imran:159).
Karena itu, pendidikan bangsa ini pun harus holistik, tak cuma berfokus pada cara berpikir (akal) dan cara bertindak (perilaku), akan tetapi juga harus membina hati menjadi qalbun salim. Qalbun (hati) yang akan menuntun pada kebenaran dan kebaikan.ibnu Syafaat