Oleh dr. H. Zaini Abdullah
ZAkAT mendapat tempat khusus di Aceh dan merupakan salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dalam UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, terdapat tiga pasal yang menyebut zakat, yaitu pasal 180 tentang zakat sebagai PAD, Pasal 191 Baitul Mal sebagai pengelola zakat, serta pasal 192 yang menyebutkan zakat sebagai faktor pengurang pajak dari wajib pajak. Kehadiran pasal-pasal ini menunjukkan, betapa pentingnya zakat bagi Aceh. Oleh sebab itu, keberadaan zakat perlu dikaji lebih mendalam, agar lebih optimal untuk mendorong pembangunan, sekaligus mendapat perhatian hingga tingkat tingkat internasional.
Zakat merupakan salah satu rangkaian ibadah yang disebut maaliyah, yaitu ibadah yang bersifat kedermawanan. Sebagai ibadah, zakat adalah kewajiban setiap muslim sebagaimana ketentuan syariah. Dalam Islam, zakat sebagai instrument pokok yang memiliki keutamaan sama dengan shalat. Jika shalat dimaknai sebagai hubungan individu dengan Allah SWT melalui praktek ritualitas, maka zakat melambangkan keharmonisan setiap individu dalam komunitas sosial melalui sikap kepedulian dan kedermawanan.
Pada aspek ini, dapat dipahami, zakat selain sebagai keharusan absolut bagi ummat yang memiliki kelebihan (muzakki), juga memiliki implikasi sosial yang signifikan terhadap ummat yang kekurangan (mustahik). Dalam hal ini, zakat sangat berperan mengatasi kesenjangan, menegakkan keadilan dan pemerataan ekonomi. Itu sebabnya zakat dalam perspektif ekonomi Islam memiliki satu kesatuan nilai yang koheren dalam menegakkan prinsip sosial.
Persoalannya kemudian, apakah zakat telah benar-benar diyakini sebagai suatu asset dalam mendorong pertumbuhan dan pemerataan sosial ekonomi, atau hanya sekedar amaliyah ritual? Lalu, bagaimana zakat dikelola dengan baik, sehingga pemanfaatannya bersifat bersifat produktif.
Saya kira, ini adalah dua hal penting yang menarik untuk terus kita kaji dan pelajari. Jika dua hal ini telah terjawab, langkah berikutnya adalah mendorong upaya menjadikan zakat sebagai kebijakan sosial yang diakui seluruh dunia Islam.
Untuk itulah, kita perlu melahirkan ide-ide baru, agar zakat tidak sekedar kewajiban dalam Islam, tetapi sebagai gerakan sosial yang berkembang di dunia Islam. Zakat telah ditabalkan dalam hukum positif, yaitu UndangUndang Nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, dimana didalamnya dijelaskan, zakat kita tidak hanya sematamata merujuk kepada sistem Islam , tapi harus dikelola dalam manajemen yang professional. Dengan demikian, zakat bukan sekedar menjalankan syariah, tapi merupakan sumber energi ummat untuk kebangkitan ekonomi dan pemberdayaan masyarakat.
Disini terlihat, betapa Islam sebagai agama universal memiliki ajaran yang tidak hanya menyangkut soal ritual agama, tapi juga menyentuh aspek sosial ekonomi masyarakat. Karena itu, saya sangat sependapat perlunya menetapkan standar zakat internasional, sebab zakat memang merupakan sistem ekonomi yang benar-benar efektif dalam membangunan ekonomi kerakyatan di negara-negara Islam.
Saya kira, keunggulan peradaban Islam tentang zakat bisa lebih kita perkuat, agar semakin efektif dan berdaya guna bagi kemaslahatan ummat Islam. Dengan begitu, zakat tidak hanya meningkatkan hubungan sosial antar manusia, tapi menjadi bukti tentang keunggulan Islam dalam bidang ekonomi.