Gema JUMAT, 4 September 2015
Khutbah Jum’at, Tgk. Samsul Bahri, Penceramah Halqah Maghrib Masjid Raya Baiturrahman
Manusia adalah makhluk sentral di muka bumi. Penciptaan alam semesta dengan segala isinya antara lain ditujukan untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam berbagai aspeknya. Dalam kaitan ini Allah berfirman yang artinya;
Dia-lah (Allah) yang menciptakan segala sesuatu yang ada di bumi ini se muanya adalah untuk kalian (wahai manusia)…(Q.S. al-Baqarah: 29).
Secara potensial manusia mempunyai kecenderungan untuk berbuat baik. Kebaikan diyakini akan mendatangkan manfaat bagi dirinya dan orangorang lain di sekitarnya. Sayangnya, tidak dalam semua keadaan manusia bisa berlaku baik.
Manusia adakalanya mempunyai kepentingan sehingga terdorong untuk mendapatkan kepentingan tersebut walaupun melalui cara-cara yang tidak baik. Dalam konteks ini, Allah menurunkan kitab suci sebagai petunjuk bagi manusia agar kehidupan mereka lurus sehingga bisa meninggalkan hal-hal yang tidak baik, sebagaimana firman Allah yang artinya;
Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan al-Quran, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil)…(Q.S. al-Baqarah: 185).
Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu’min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar,. (Q.S.Al-Isra’: 9).
Allah juga mengutus para nabi dan rasul secara berkala untuk membimbing manusia sebagaimana firman Allah yang artinya:
Manusia itu (dahulunya) satu umat. Lalu Allah mengutus para nabi (untuk) menyampaikan kabar gembira dan peringatan. Dan Diturunkan-Nya bersama mereka Kitab yang mengandung kebenaran, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan…(Q.S. alBaqarah: 213).
Pengutusan para Nabi dan Rasul pada dasarnya untuk memperjelas kebaikan yang mesti dilaksanakan manusia. Nabi dan rasul mengajarkan kebenaran sebagaimana diperintahkan oleh Allah.
Manusia tidak selamanya menerima kehadiran para rasul secara antusias. Sebagian di antara manusia merasa terusik dengan kedatangan para rasul karena dipandang menghalangi keinginan-keinginan buruknya. Sebagian di antara manusia itu bersikap resistensi atau menolak dakwah yang disampaikan para rasul. Apabila penolakannya sangat kuat, adakalanya berujung pada diturunkan hukuman oleh Allah. Dalam al-Qur’an, di antaranya dalam Surah Hud, dikisahkan tentang pengutusan rasul-rasul Allah yang disambut perlawanan oleh kaumnya. Para rasul itu diutus untuk meluruskan sistem keyakinan (aqidah) manusia. Sebagian besar manusia sudah mengalami penyelewengan aqidah dalam berbagai bentuk.
Penyelewengan aqidah yang dilakukan oleh kaum yang kepada mereka diutus Nabi Nuh adalah sangat berat. Mereka merupakan generasi manusia pertama yang melakukan penyembahan terhadap berhala.
Awalnya, mereka mengagung-agungkan orang tua dan nenek moyang mereka yang terkenal baik dan shaleh. Mereka memuji-mujinya sebagai bagian untuk memotivasi diri agar dapat mengikuti jejak orang-orang shalih tersebut. Ketika puji-pujian dengan mengandalkan ingatan tidak memuaskan mereka, lalu dibuat gambar dan lukisan wajah nenek moyang mereka. Tidak puas dengan gambar dan lukisan, mereka membuat ukiran dan pahatan sehingga berwujud berhala. Nabi Nuh as diutus untuk meluruskan sistem keyakinan yang sudah keliru ini. Dalam kaitan ini Allah berfirman yang artinya:
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, (dia berkata): “Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang nyata bagi kamu, agar kamu tidak menyembah selain Allah. Sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa azab (pada) hari yang sangat menyedihkan.” (Q.S.Hud: 25-26).
Kaum Nabi Nuh umumnya enggan, karena sudah merasa nyaman dan nikmat dengan cara tersebut. Mereka malah menyalahkan Nabi Nuh as. dan memandangnya sebagai orang yang tidak menghargai nenek moyang mereka sendiri. Mereka membuat jaringan yang cukup kuat sehingga sebagian besar manusia yang hidup waktu itu berada di pihak mereka. Dengan jaringan yang kuat tersebut, Nabi Nuh dan pengikutnya dapat dikalahkan sehingga pengaruh dakwahnya tidak berkembang.
Allah menghukum kaum Nabi Nuh dengan banjir besar. Hukuman dimaksud bukan hanya karena mereka menyembah berhala, tetapi juga disebabkan oleh perlawanan mereka terhadap seruan kebenaran. Mereka melakukan perlawanan karena sudah merasa kuat yang didukung oleh jumlah orang yang jauh lebih besar. Dalam batasbatas tertentu, mereka bahkan dapat memaksa orang lain untuk melakukan kejahatan serupa. Orang-orang yang beriman diselamatkan dari hukuman itu dan dalam sejarah selanjutnya mereka terbagi ke dalam tiga komunitas. Satu diantaranya bernama kaum ‘Ad.
Kaum ‘Ad dianugerahi tubuh yang besar dan tenaga yang kuat. Dengan keadaan seperti itu mereka menjadi makhluk yang sangat perkasa ketika itu. Batu-batu besar mampu mereka pindahkan. Lembah dan ngarai dapat ditimbun jika diperlukan. Tidak ada binatang buas yang mereka takuti. Bahkan, mereka tidak takut kepada apapun. Sikap yang over confident ini secara perlahan menjerembabkan mereka kepada keangkuhan dan takabbur. Mereka merasa mampu mengatasi sendiri semua persoalan yang dihadapi. Mereka merasa tidak membutuhkan apapun dan siapaun. Mereka tidak membutuhkan perlindungan dari siapapun. Ujung-ujungnya, mereka tidak membutuhkan Allah. Mereka bahkan tidak percaya lagi bahwa Allah itu ada.
Allah mengutus Nabi Hud untuk meluruskan i’tiqad mereka yang sudah menyimpang itu sebagaimana firman Allah yang artinya:
Dan kepada kaum ‘Ad (Kami utus) saudara mereka, Huud. Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Kamu hanyalah mengadaadakan saja. (Q.S.Hud: 50).
Nabi Hud sendiri berasal dari kalangan mereka sehingga mereka sangat mengenalinya. Mereka sama sekali tidak takut kepada Nabi Hud dan berani menentangnya. Nabi Hud dituduh mengada-ada, dan dianggap merusak martabat kaum ‘Ad. Nabi Hud dituduh telah menyebabkan kaum ‘Ad menjadi kaum yang kerdil kembali setelah mereka berusaha membesarkan kaum ini. Allah menghukum mereka dengan benda yang amat lunak, yaitu angin dingin. Mereka mati kedinginan.
Demikian juga dakwah Nabi Luth ditolak kaumnya. Nabi Luth bahkan mencoba mendekati mereka dengan sikap yang sangat simpatik; menawarkan puterinya untuk dinikahi secara resmi oleh pemuka kaumnya tersebut, sebagaimana firman Allah;
Luth berkata: “Hai kaumku, inilah puteri-puteriku, mereka lebih suci bagimu, maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku ini. Tidak adakah di antaramu seorang yang berakal?”
Sikap simpatik ini tidak berdampak apapun, dan mereka tetap melakukan pekerjaan keji itu. Ketika Nabi Luth kedatangan tamu laki-laki, mereka pun memaksanya untuk menjalani praktek menyimpang itu. Nabi Luth tidak mampu melawan mereka yang sudah sangat kuat itu. Kekuatan mereka karena mendapat dukungan dari sebagian besar kaumnya. Nabi Luth pun mengalah dan menyerahkan persoalan ini kepada Allah. Allah menurunkan hukuman dengan cara membalikkan permukaan tanah yang mereka diami itu, ditambah dengan hujan batu panas yang menimpa mereka sebagaimana firman Allah yang artinya:
Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, (Q.S. Hud: 82).
Penyelewengan aqidah umat terdahulu ternyata amat beragam. Mulai dari menyembah berhala, angkuh dan sombong, serta berbagai tindakan keji lainnya dalam bidang sosial dan ekonomi. Penyembahan berhala adalah penyelewengan aqidah yang sangat nyata karena telah melakukan kesyirikan. Sikap angkuh, congkak dan sombong baik dalam hubungannya dengan pengaruh dan kekuatan, maupun skill dan kepandaian juga merupakan bagian dari penyelewengan aqidah karena membawa pelakunya kepada pemujaan diri sendiri. Demikian pula halnya dengan kejahatankejahatan besar lainnya seperti berlaku curang dan perkawinan sejenis dapat membawa kepada penyelewengan aqidah ketika pekerjaan-pekerjaan tersebut diyakini sebagai sesuatu yang tidak dilarang. Na’uzubillah.