Gema JUMAT, 01 April 2016
Bedah buku pertama karya deklarator Aceh Merdeka Hasan Tiro berjudul Perang Atjeh 1873-1927 diselenggarakan Institut Peradaban Aceh (IPA) bersama dengan media lokal AcehTrend pada Sabtu (26/3) kemarin. Tentunya membuat ingatan kita tragedi perlawanan Umat Islam di Aceh bertepatan dengan peringatan 143 Tahun perang Aceh dengan Belanda.
“Buku ini ditulis oleh Hasan Tiro berdasarkan skripsinya di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta dan diterbitkan pada 1948 oleh Pustaka Tiro. Buku ini ditulis ketika Hasan Tiro masih dalam pemikiran Indonesia,” ujar Ketua Institut Peradaban Aceh, Haekal Afifa yang tampil bersama dua pembedah lainnya yakni . mantan Juru Runding GAM Munawar Liza Zainal serta Epigraf dan Pengkaji Sejarah Aceh Teungku Taqiyuddin Muhammad.
Menurut Haekal Perang Aceh dengan Belanda merupakan peristiwa besar sejarah yang terjadi di Kepulauan Melayu pada era modern, peristiwa kemanusiaan yang memberi kita pelajaran untuk berdiri tegak sampai saat ini. Perang Aceh telah mengubah sosio-kultural masyarakat Aceh khususnya, hilangnya identitas, kaburnya arah pembangunan dan budaya yang diakibatkan oleh politik perang pihak Belanda saat itu, hingga hari ini kita masih merasakan betapa dahsyatnya akibat yang dihasilkan dari peristiwa tersebut untuk generasi kita saat ini, khususnya secara budaya dan sosial.
Perang ini kata Haekal, dianggap sebagai perang terbesar dalam sejarah bangsa Eropa dalam menghadapai Bangsa Timur, yang telah mengajari bangsa Belanda untuk belajar strategi militer menghadapi bangsa Aceh. Tidak bisa dipungkiri, kekalahan pihak Belanda telah membuka mata dunia internasional dalam melihat figur bangsa Aceh.
Perang Aceh juga telah membuktikan kepada dunia bahwa ini bukanlah sebuahperang biasa yang telah berakibat terhadap reputasi bangsa Belanda di Eropa, hal ini seperti diberitakan oleh The New York Time pada edisi 6 Mei 1873: “Satu pertempuran yang berlumuran darah sudah terjadi di Atjeh. Serangan Belanda telahdipukul mundur oleh tentera Atjeh dengan penyembelihan besar-besaran. Jenderal Belanda telah dibunuh mati dan tentaranya lari tanpa arah. Kekalahan Belanda tersebut adalah sesuatu yang sangat besar sehingga seorang anggota Parlemen Belanda telah menyatakan di Den Haag bahwa kekalahan di Atjeh merupakan permulaan dari kehancuran kekuasaan Belanda di dunia Timur.”
Terdapat banyak bukti betapa kemenangan ini adalah suatu rahmat Allah atas bangsa Aceh, sehingga membuka mata dunia untuk melihat sosok bangsa Aceh dalam mempertahankan agama, bangsa dan kehormatannya dari penjajahan asing, disamping itu juga menjadi suatu pembuktian bahwa bangsa Aceh adalah bangsa yang anti terhadap penjajahan dalam bentuk apapun.
Lebih lanjut kata Haekal, Hasan Tiro mengakui bahwa buku “Perang Atjeh 1873-1927” merupakan selayang pandang (review) sejarah Aceh dengan memaparkan kenyataan dan bukti sejarah (fait accompli) bagaimana Perang Belanda di Aceh berlangsung. Dengan mengutip ungkapan Paul de Groot, Hasan Tiro menutup risalahnya dengan menulis bahwa Kemerdekaan Indonesia tak bisa diabaikan dan dihancurkan.
Maksud mengadakan Perang Aceh yang kedua untuk menundukkan mereka, akan berakhir dengan sia-sia. Apa yang menjadi petikan hikmah yang dapat diambil dari peristiwa besar sekitar satu abda setengah itu? Salah satunya adalah Islam anti terhadap penjajahan. Dalam bentuk apa pun dimana pun dan kapan pun. (Marmus)