Oleh: Nurul Husna
Mahasiswi Magister UIN Sunan Gunung Djati, Bandung
Tanah Serambi Mekah, dikenal dengan kekayaan warisan budaya yang mendalam serta perjalanan sejarah yang begitu unik. Sebagai ciri peradaban yang tinggi, Aceh pernah mengukir sejarah dengan memberikan peran kepada perempuan dalam konteks publik yang sangat besar.
Sri Astuti A. Samad (2019) dalam Artikel jurnalnya yang berjudul “Peran Perempuan dalam Perkembangan Pendidikan Islam di Aceh” menyebut fenomena ini sebagai fenomena yang unik, hampir tidak ada padanannya di tempat lain. Pada masa tersebut, perempuan Aceh pernah menduduki peran peran utama seperti menjadi sultan, panglima perang, tokoh agama (ulama inong) dan peran-peran penting lainnya.
Cut Nyak Dien Sebagai salah satu contoh pahlawan perempuan yang menjadi pemimpin perang dengan strategi perangnya yang memukau dalam melawan penjajah Belanda. Cut Nyak Dien adalah simbol perempuan dengan tekat dan niat luhur dalam usaha memerdekakan Indonesia. Kita juga mengenal nama perempuan lainnya misalnya Cut Meutia, Pocut Baren, Pocut Meurah Intan, dan bahkan juga Laksamana wanita pertama dalam sejarah Indonesia yaitu; Laksamana Keumalahayati.
Selain peran heroik sebagai panglima perang, Aceh juga melahirkan para perempuan hebat yang tampil dalam panggung sejarah sebagai sultanah. Sultanah yang dimaksud ialah Sultanah Safiatuddin Syah, Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin, Sultanah Inayat Zakiatuddin Syah, Sultanah Kamalat Zainatuddin Syah.
Kepemimpinan perempuan pada masa sultanah bahkan menjadi salah satu masa kejayaan kerajaan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan bidang lainnya. Sultanah Safiyatuddin misalnya, dalam periode kepemimpinannya beliau mengirimkan ulama-ulama dari Aceh ke negeri Syam dengan tujuan untuk menyebarkan Islam.
Pada masa kepemimpinan Sultahan Safiyatuddin, beliau mendorong ulama dan para cendikiawan untuk mengembangkan penetahuan dengan menulis kitab-kitab agama. Kemajuan tersebut dapat dilihat dari munculnya karya-karya ulama fenomenal misalnya Abdurrauf al-Singkili (w. 1693), beliau banyak menulis kitab atas dorongan dari para sultan perempuan tersebut.
Dalam aspek ekonomi, sultanah Safiyatuddin menetapkan kewajiban pajak yang harus di bayar oleh para pedagang asing yang berdagang di Aceh. Ini menunjukkan adanya kebijakan ekonomi yang melibatkan penggunaan mata uang emas dan penerapan pajak sebagai sumber pendapatan negara dari perdagangan dengan pedagang asing.
Kebijaksanaan Ratu Safiatuddin saat menjadi Sultanah terlihat pada keseriusannya mensejahterakan masyarakat. Salah satu catatan sejarah yang sangat memukau adalah perhatiannya pada janda dan anak korban perang di Malaka tahun 1640.
Perhatian tersebut terlihat dengan dibangunkan sebuah kota yang dikenal dengan kota inong balee yaitu di Krueng Raya yang pembangunannya dibiayai dengan uang kerajaan dan zakat. Mereka para janda dan anak-anak korban perang diberikan tempat yang layak serta tunjangan uang kepada janda-janda dan pengurus anak-anak.
Dalam ranah pendidikan kita mengenal tokoh Datu Beru dan Teungku Fakinah. Dalam catatan sejarah Datu Beru yang berasal dari kerajaan Linge (Kabupaten Aceh Tengah sekarang) disebut sebagai ulama perempuan yang berprofesi sebagai hakim.
Peran hakim pada tokoh perempuan saat itu menunjukkan betapa luas dan dalamnya pengetahuan fiqh di kalangan perempuan. Sama hal nya dengan Teugku Fakinah yang bukan saja seorang ulama perempuan, pendidik, tetapi juga seorang panglima perang yang mampu mempengaruhi rakyat melawan penjajah Belanda.
Nama-nama yang disebutkan di atas adalah beberapa nama perempuan Aceh yang mendedikasikan dirinya untuk ummat. Menjadi perempuan tidak menghalangi mereka dalam berkarya dan tampil dalam ranah publik. Aceh membuktikan dalam sejarah bahwa perempuan berhak dan mampu berkarya dengan karya yang fenomenal yang dikenang dalam sejarah.