Dalam sejarah peradaban Islam, isu pertanian telah dibahas sejak zaman Rasulullah Saw hingga masa khulafaurrasyidin, seperti adanya kebijakan tentang pertanian untuk meringankan pajak hasil bumi dan beberapa usaha memajukan kaum petani.
Bahkan revolusi bidang pertanian dalam dunia Islam berkembang pesat pada abad ke-12 dengan munculnya para ahli pertanian, khususnya di Andalusia. Salah tokoh tersebut adalah Abu Zakariya Yahya ibnu Muhammad Ibnu Ahmad al-Awwam al-Ishbili atau Ibnu Awwam dengan kitab fenomenalnya al-Filaha, yakni kitab yang mengupas tentang seluk-beluk pertanian, sehingga kitabnya menjadi referensi para ilmuan kontemporer.
Revolusi pertanian pada zaman keemasan Islam tidak hanya berhasil membangun sistem irigasi yang canggih. Namun, juga mengembangakan peralatan-peralatan pertanian, seperti bajak dan garu. Seorang sejarawan bernama Al-Maqrizi menyebutkan bahwa di Mesir, sebelum para petani menanam tebu, mereka terlebih dahulu membajak sawah sebanyak enam kali. Bahkan, ada yang sampai sepuluh kali. (republika, 15 Februari 2020).
Indonesia adalah negara agraris dengan mayoritas penduduknya dengan mata pencaharian di sektor pertanian. Pertanian menjadi pondasi utama dalam mendorong pembangunan, caranya dengan menyokong perekonomian dan mendukung usaha ketahanan pangan.
Dunia pertanian merupakan sumber kehidupan setiap negara di dunia, pertanian merupakan sumbu atau nyawa bagi setiap negara untuk bertahan hidup karena pertanianlah yang akan mengganjal seluruh perut warga setiap negara dunia di mana urusan perut adalah urusan hidup. Melihat pentingnya perjuangan seorang petani dalam memajukan negara, maka mereka adalah pahlawan bagi kita semua.
Salah satu pertanian terbaik dunia saat ini adalah Jepang. Sebagai negeri sakura yang maju di bidang teknologi juga maju dibidang pertanian, faktor utama majunya pertanian Jepang adalah besarnya dukungan serta perhatian negera setempat dibidang pertanian. Lalu bagaimana dengan negara kita yang jumlah petani sebanyak 33,4 juta orang?
Mantan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala (USK), Dr. Ir. Agussabti, M.Si menjelaskan bahwa penyebab utama belum berkembangnya dunia pertanian di indonesia, karena resiko kegagalannya terlalu tinggi.
Risiko pertanian muncul dari faktor yang tidak bisa diprediksi dan dikendalikan sempurna oleh para petani, mulai dari hama dan penyakit, iklim, harga, gagal panen, dan lain sebagainya. “kerena besarnya resiko gagal, maka jadi sedikit yang terjun berusaha dalam bidang pertanian,” ujar Ketua IPQAH Aceh ini.
Menurut Agussabti, kondisi ini berbeda dengan negara Turki dan Yunani. Pertanian Turki berkembang menjadi negara pertanian cerdas atau smart agriculture dalam mengatasi berbagai masalah pertanian untuk memastikan keamanan pangan di masa depan. Serta fokus pada kegiatan penelitian dan pertanian berbasis teknologi.
Menurutnya, selain sektor off farm dan on farm, ada tiga syarat pokok pertanian yakni, ada lahan, benih dan ada air, jika ketiga syarat dasar ini sudah terpenuhi dengan baik, maka baru berbicara teknologi.
Bila usaha on farm kata dia terkait dengan budidaya, maka off farm adalah produk non-budidaya atau hasil pasca panennya. “di kita (Aceh-red) baru 40 persen lahan pertanian teraliri air dengan baik, sementara 60 persen lainnya belum,”jelas Wakil Rektor Bidang Umum dan Keuangan USK ini kepada Gema Baiturrahman, Rabu, (22/9) kemarin.
Kenapa pertanian di Thailand lebih maju?. Salah satu faktornya tingginya produktivitas pertanian Thailand, selain karena adanya dukungan teknologi dan permesinan yang canggih. Juga menerapkan kawasan, dan pemerataan lahan untuk petani masing-masing 3 hektar. Sehingga, pertanian padi di Thailand mampu panen 1-5 kali dalam setahun.
Solusi Strategis
Sementara Direktur Politeknik Aceh Selatan (Poltas), Dr. Muhammad Yasar, S.TP mengatakan, solusi paling strategis untuk mengatasi problem ketenagakerjaan di tanah air. Potensi usahanya sangat luas mulai dari aktifitas hulu hingga ke hilir. Dari kegiatan produksi hingga proses industri, semua itu adalah peluang, yang apabila mampu digarap dengan baik dapat menjamin kesejahteraan bangsa ini.
“Sektor pertanian tidak akan maju jika tidak didukung kegiatan wirausaha,” ujarnya.
Menurutnya, bisnis sektor pertanian merupakan bisnis yang tidak ada matinya karena dia berhubungan dengan kebutuhan dasar umat manusia, dimana keperluannya juga terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk. Namun yang menjadi tantangannya, minat generasi muda kita untuk menggeluti sektor ini sangat rendah. “Oleh sebab itu perlu dorongan yang serius dari pemerintah,”tegas dia.
Umumnya kata dia, masih ada yang berpersepsi bahwa sektor pertanian prospeknya kurang menjanjikan apalagi selalu berhadapan dengan resiko ketidakpastian terutama terkait iklim dan pasar. Ini pula yang menyebabkan lembaga keuangan atau perbankan kurang melirik sektor ini. Sehingga para calon wirausaha pertanian selalu kesulitan untuk mendapatkan akses modal. “Sedihnya, di negara kita yang agraris ini masih ada kesan jika sektor ini selalu menjadi komoditas politik,”ungkapnya miris.
Selama sektor pertanian masih menjadi komunitas politik selama itu pula sektor ini tidak akan pernah maju dan berkembang. Melalui momen hari tani ini tentunya, pihaknya berharap bangsa ini mampu menempatkan sektor pertanian sebagai skala prioritas dalam aktivitas pembangunannya. (marmus)