Aceh Besar (Gema) – Islam menuntun umatnya agar dalam memilih orang yang diberi pekerjaaan dan jabatan memperhatikan kapasitas dan integritas. Presiden, gubernur, dan bupati/walikota yang diangkat dan digaji oleh rakyat, begitu juga para wakil rakyat, ketika rakyat memilih mereka harus melihat kriteria yang disebutkan Allah Swt dalam Al-Quran.
Kasi Bimas Islam Kemenag Aceh Besar, Ustaz H. Akhyar Mohd. Ali, S.Ag, M.Ag, akan menyampaikan hal tersebut dalam khutbah Jumat di Masjid Al-Hidayah Meusara Agung, Gampong Gue Gajah, Kecamatan Darul Imarah, 19 Januari 2024 bertepatan 7 Rajab 1445 H.
Sekretaris Umum PW Al Washliyah Aceh ini menyebutkan ayat Al-Quran yang menjadi referensi dalam menentukan pilihan pemimpin, misalnya, surah Al-Imran ayat 104, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”
Ayat lainnya, surah Yusuf ayat 55, “Berkata Yusuf: Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.” Berikutnya surah Al-Qashas ayat 26, “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”.
“Pertanyaan penting adalah, apakah masyarakat di negeri ini dalam menggunakan hak pilih mengikuti tuntunan Allah Swt dengan menilai aspek kapasitas dan integritas seorang calon atau memilih berdasarkan pikiran dan nafsunya. Fakta di lapangan berdasarkan hipotesa awal menunjukkan, masih banyak masyarakat yang mendasari pilihannya atas pemberian sesuatu baik berupa uang, sembako, dan lain-lain,” ujarnya.
Kondisi ini, tambah Ustaz Akhyar diakui oleh Ketua MPR RI Bambang Soesatyo, yang mengatakan, Indonesia saat ini terjebak dalam demokrasi transaksional yang membahayakan. Pemilih sering bertanya, mau suara berapa uangnya berapa. Bambang mengkhawatirkan kondisi ini, karena lembaga strategis negara akan diisi oleh orang-orang yang punya modal atau yang dimodali orang lain dengan sistem transaksional, sehingga orang-orang baik tidak bisa lagi masuk, sebab tidak punya modal dan tidak mau dengan cara-cara transaksional.
Ustaz Akhyar menjelaskan, apabila cara memilih pemimpin dan wakil rakyat melalui politik uang dan tidak mengacu kepada tuntunan syariat Islam, maka banyak sekali pelanggaran terjadi, baik secara agama maupun secara undang-undang. “Misalnya, ketika memilih pemimpin atas dasar pemberian sesuatu, ini artinya sogok-menyogok, perbuatan ini menurut ijma’ ulama hukumnya haram, termasuk memakan harta orang lain secara batil,” tegasnya.
Dalam hadist Riwayat Imam Ahmad, Allah Swt melaknat yang memberi sogok dan yang menerima sogok, serta yang menjadi perantara (HR. Ahmad). Ustaz Akhyar menambahkan, sogok-menyogok dalam pemilu disebut politik uang dan dilarang secara undang-undang pemilu, bahkan seorang calon yang terpilih bisa dibatalkan kalau terbukti melakukan money politic.
“Kalau masyarakat dalam memilih pemimpin dan wakil rakyat secara transaksional, maka sesungguhnya yang pertama merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara adalah masyarakat itu sendiri, maka kalaulah di republik ini masih banyak praktik korupsi ini sesungguhnya sesuatu yang telah dikondisikan oleh masyarakat itu sendiri,” tegasnya.
Akhirnya Ustaz Akhyar berharap, supaya masyarakat tetap mengikuti tuntunan syariat Islam dalam memilih pemimpin dan wakil rakyat, yaitu dengan melihat kepada aspek kapasitas dan integritas, serta menolak praktik politik uang. – Sayed M. Husen