Teuku H. Usman Al-Fauzy
POLITIK DAKWAH ULAMA DAYAH
Teuku H. Usman Al-Fauzy atau yang kerap disapa dengan panggilan Abu Lueng Le lahir pada tahun 1921 M, tepatnya di Gampong Cot Cut, sebuah gampong yang berada dalam wilayah Kecamatan Kuta Baro, Aceh Besar.
Salah seorang putra beliau, Abon Tajuddin, menceritakan ayahanda beliau berasal dari kalangan Teuku sehingga pada masa kanak dan remaja mampu masuk sekolah favorit masa dulunya, sehingga wajarlah Al-Mukarram Abu Lueng Le mampu banyak menguasai bahasa Asing baik Inggris dan lainnya.
Abu masuk ke partai penguasa saat itu sebagai salah satu cara untuk menyelamatkan agama dan tarekat serta lampu umat “ulama” saat itu. Tidak ada jalan lain dalam “ijtihad” Abu ketika itu melainkan harus masuk partai Golkar setelah sebelumnya meminta kepada partai selain Golkar seperti partai berlambang Ka’ bah PPP, kebetulan Abu sebelumnya juga bagian dari Perti di bawah partai PPP dengan harapan Abu Lueng ie meminta agar mereka mampu menjamim terselamatkan tarekat dan agama dari rongrongan para “musuh” saat itu.
Walhasil usaha Abu Lueng Ie dari Ijtihadnya mampu membawa dampak yang diharapkan dan positif terhadap tarekat dan agama serta terselamatkan para kharismatik ulama dan ulama lainnya ketika itu.
Abu Lueng Ie berhasil menghadap Suharto sebagai Presiden saat itu dan Abu pun menjelaskan beberapa keinginan beliau untuk menyelamatkan agama dan tarekat bahkan ulama harus di selamatkan. Singkat cerita Abu Lueng Ie menjadi “tokoh kunci” Aceh kala itu dengan pemerintah orde baru.
Walaupun ekses beliau masuk partai penguasa Golkar tidak sedikit masyarakat yang mencaci dan mencela Abu, namun beliau tidak peduli. Salah satu ekses negatif yang sangat terasa, keadaan dayah di Lueng Ie semakin merosot para santrinya pasca Abu dekat dengan penguasa dan masuk Golkar, namun apa hikmah di balik Abu masuk Golkar?
Abon Tajuddin menceritakan bahwa Abu masuk Golkar dengan satu harapan tarekat dan agama tidak boleh diganggu oleh “musuh”. Walaupun para santri saat itu merosot tajam, namun Abu telah memberikan andil sangat besar di samping menyelamatkan tarekat Naqsyabandiah, juga telah mampu menyelamatkan para ulama kharismatik l dari penguasa saat itu yang sempat diintimidasi dan tangkap mulai dari Abon Aziz Samalanga, Abu Tanoh Merah, Teungku Muhammad Dewi dan beberapa ulama besar lainnya.
Allahuyarham dengan rekomendasi Abu Lueng Ie mereka dilepaskan dari penyiksaan dan penangkapan pihak keamanan saat itu.
“Alah na Abu droe Tajuddin, meuhan Abon han seulamat,” ungkap Abu Mudi kepada Abon Tajuddin saat menceritakan peran Abu Lueng Ie pada masa orde baru mampu membebaskan para pimpinan dayah dan tokoh ulama besar saat itu dari berbagai tuduhan.
Kita mengetahui bahwa Sebagai sosok ulama kharismatik dan juga tokoh ulama kunci di era orde baru, Abu Lueng Ie telah mempertaruhkan jiwa dan raganya demi tegaknya dinul Islam yang bermazhabkan ahlisunnah wal jamaah serta memperjuangkan tongkat estafet tarekat di bumi Aceh ini, dengan ijtihadnya mau tidak mau harus ditegakkan syiar agama dengan masuk salah satu parpol penguasa saat itu. Beliau bernama Teungku Teuku Haji Usman Al-Fauzi dan akrab di sapa Abu Usman Al-Fauzi atau Abu Lueng Ie.
Banyak cerita yang tidak diketahui masyarakat secara umum dibalik Abu Lueng Ie berpolitik. Suatu waktu dalam halaqah ilmu, Abon Tajuddin menambahkan, walaupun dayah Abu saat itu makin berkurang santri yang belajar, namun para ulama dan tokoh kharismatik lain di Aceh telah mampu mengantikan peran Abu beliau ( Abu Lueng Ie) untuk seumeubeut dan mendidik para santri dengan jumlah yang banyak.
Sungguh secara kasat mata andai Abu Lueng Ie tidak masuk dalam lingkaran partai penguasa Golkar, sungguh para Abu dan tokoh ulama kharismatik di Aceh akan “terganggu” bahkan hilang tanpa jejak. Dan tidak mungkin Abon Aziz Samalanga mampu melahirkan ulama kharismatik seperti Abu Mudi, Abu Lueng Angen, Abu Panton, Abon Seulimum, Abu Langkawe dan ulama kharismatik lainnya. Namun Allah SWT telah merancang demikian dan Dia lebih Mengetahui!
Sebuah poin penting yang dapat dipetik para ulama seperti halnya Al-Mursyid Abu Lueng Ie terjun ke politik dan dekat dengan penguasa. Tentu saja mereka telah berijtihad dan memikirkan positif dan negatifnya plus istikharah, di samping meminta nasehat baik secara langsung atau berkolaborasi dengan rohaniah masyaikhul kiram dan bimbingan dari mereka.
Sebuah contoh konkret, penghinaan terhadap ulama lainnya saat DOM dulu Al-mursyid Abu Usman Kuta Krueng dekat dengan penguasa dan partai Golkar. Sungguh masyarakat menyapa Abu Kuta Krueng dengan ungkapan yang tidak layak disebut, na’uzubillah min zalik. Mereka melihat secara lahirnya namun kita yakin Abu ketika itu punya pandangan dan ijtihad baik tanpa kita mengetahuinya.
Kita sebagai masyarakat awam pastilah tidak serta merta mencaci dan menghina hasil ijtihad ulama tersebut seperti yang telah dilakukan oleh Abu Lueng Ie dan ulama lainnya yang terjun ke dunia politik. Pastilah mereka ziadah ilmu (berilmu tinggi) dan makrifah dengan kita awam.
TELADAN
Amiruddin mengutip dari buku ” Ensiklopedi Ulama Besar Aceh” menyebutkan sifat tawadhu’ Abu Lueng Ie telah menjadikan sosok ulama yang berkarakter dengan arifbillah. Dalam suatu kisah disebutkan pernah seorang yang tidak menyenangi beliau melemparkan kotoran manusia ke dalam kulah (tempat berwudhu’) santri di dayah tersebut. Tidak serta merta beliau marah kepada orang yang telah melakukan kesalahan seperti itu, akan tetapi beliau meresponsnya dengan penuh ketabahan dan kesabaran.
Berkat ke’aliman dan sifat sabarnya serta dengan izin Allah yang Maha Kuasa air kulah yang delempari kotoran manusia pada suatu hari menjadi obat, sehingga pernah tersebar kepada masyarakat “Ie kulah Abu Lueng Ie jeut keu ubat penawa”, artinya air kulah Abu Lueng Ie dapat menjadi penawar (Amiruddin, 2013).
Dalam keseharian Abu sering mutala’ah dan berzikir di kamar khusus, padahal beliau mempunyai rumah sendiri terlebih beliau mempunyai bayyinah warisan orang tuanya. Lantas kenapa Abu masih berkutat hari-harinya lebih banyak di kamar tersebut? Rupanya beliau mencoba untuk mengimplementasikan nilai rabitah sebuah nilai ikatan batiniah dengan sang gurunya Al-Mukammil Al-mursyid Abuya Muda Waly.
Abuya Muda Waly dalam keseharian beliau mempunyai tempat khusus untuk berzikir dan muta’alah juga istirahat di dayah Labuhan Haji.
Ternyata rabitah Abu Lueng Ie bukan hanya rabitah bil ilmi, namun lebih dari itu, mencoba merabitah seluruh aspek kehidupan Abuya untuk bisa diteladani oleh Abu Lueng Ie walaupun tidak seratus persen. Termasuk dalam hal ini mutala’ah, berzikir dan beristirahat mampu menempatkan hari-hari beliau seperti Abuya Muda Waly. (sumber : www.laduni.com)