GEMA JUMAT, 09 FEBRUARI 2018
Lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) kini semakin marak diperbincangkan, baik di Indonesia pada khususnya, maupun dunia pada umumnya. LGBT dalam pandanngan islam adalah sebuah penyimpangan perilaku. LGBT itu bukan bawaan, tetapi penyimpangan ajaran islam dari kodrat. Penyimpangannya itu sangat bertentangan dengan hukum islam, sudah mengangakangi syariat, kemudian menangkangi kodrat dan tabiat.
Demikian antara lain disampaikan Dr. H. Syukri M. Yusuf MA, Kepala Bidang Bina Hukum Syariat Islam dan HAM Dinas Syariat Islam Aceh saat diminta tanggapannya LGBT dalam sudut pandangan hukum islam. “LGBT itu lebih parah dari perbuatan zina. Homo atau lesbian itu lebih parah dari perbuatan zina. Kalau zina hanya melanggar syariat, tidak mengangkangi tabiat,” tuturnya.
Dalam hadits rasululllah sangat jelas melarang orang melakukan perbuatan LGBT ini, yang artinya : “Barang siapa mendapati orang yang melakukan perbuatan seperti yang dilakukan kaum Luth, maka bunuhlah orang yang berbuat dan pasangannya” (HR. Abu Dawud, Tirmidi, Ibnu Majah dan Ahmad; shahih).
Jadi tanpa membendakan yang sudah menikah atau belum, sedangakan hukuman pada zina itu dibedakan bagi yang sudah menikah hukumannya dirajam sampai mati tetapi bagi yang belum menikah dicambuk seratus kali. Tetapi bagi hukum LGBT itu dibunuh pelaku dan objek pelakunya.
Bagi Aceh bahwa kita lebih maju sedikit lahirnya pelaku LGBT ini qanun jinyah nomor 6 tahun 2014, yang salah satu materi mengatur tentang liwat, tetapi dalam qanun jinayah ini masih memberikan 100 kali cambuk. Saya melihat pada tataran awal itu efektif untuk menekan timbulnya perilaku LGBT di Aceh. Menurutnya, qanun jinayah ini menjadi protek untuk menekan munculnya perilaku penyimpangan yang terjadi di Aceh.
Jadi di Aceh sudah dilaksanakan eksekusi cambuk yang tertangkap di ruko dan eksekusinya dilakukan. Makhkamah syariah memutuskan 85 kali cambuk dan potong tahanan tiga kali terhingga terseisa 82 kali cambuk. “Ini artinya kita di aceh tidak main-main dalam hukuman terhadap LGBT”, ujar dia.
Ia menjelaskan bahwa apa yang sudah dilakukan oleh Kaploresta Aceh Utara itu adalah sebuah pembinaan dari perilaku penyimpangan. Mereka itu bukan perempuan dan juga buka khunsa. Kalau khunsa itu bawaan sejak lahir, itu dipahami karena itu ciptaan Allah SWT, tetapi dalam kajian fiqh harus dipelajari, dia lebih cendrung kemana. Kemudian digolongkan kemana kecendrungannya. Jika cendrung laki-laki maka dia harus diarahkan kepada laki-laki, jika dua kelaminnya berpungsi itu dilihat kecendrungan dan dididik kepada arah kecendrungannya.
Karena itu dia menyatakan, banyak hak-hak yang dilihat baik dari shaf shalat, mawaris, kalau dia laki-laki maka dapat jatah laki-laki dan maka jatah perempuan dan juga nikahnya nanti, kalau dia perempuan maka di nikah dengan laki dan begitu juga sebaliknya. Maka hak inilah yang harus digolongkan pada salah satu golongan. Adapun yang terjadi pada lgbt yang kita lihat bukan kunsa adalah perilaku penyimpangan. Para lgbt itu dalam bahasa fiqh disebut mukhanas, yang artinya dia laki-laki berpura-pura menjadi perempuan dan perempuan berpura-pura menjadi laki-laki dalam bahasa fiqh disebut mutarajilad. Itulah yang dikutuk dalam alquran, bukan kunsa tadi. Kalau itu muncul dalam satu daerah maka tunggulah azab Allah SWT.
Lebih lanjut, Alumnus Al Zahar Kairo ini menawarkan konsep pembinaan untuk para waria dengan keperhatian semua pihak, kepedulian dari pemerintah dan juga masyarakat. Kalau munculnya penyakit sosial ini. Maka diperlukan kerjasama yang baik dari pemerintah juga masarakat dan orang tua. Tugas utama kita dalah memberi pemahaman kepada masyarakat, bahwasa LGBT dan sejenisnya merupakan perilaku menyimpang dan sangat berbahaya.
Kemudian juga perlu peran ulama guna menjelaskan kepada mereka bahwa prilaku LGBT bukan semata-mata merugikan Akhirat, namun merusak perdaban manusia. Indra Karia