Oleh : Murizal Hamzah
Jumat ini, hari kedua ummat Islam menunaikan ibadah puasa. Siapa pun paham, melaksanakan ibadah puasa hanya diketahui oleh yang berpuasa dan Allah SWT. Manusia dapat saja menipu orangtua, anak, isteri, teman dan sebagainya dengan berpura-pura berpuasa. Berbeda dengan shalat, berzakat atau berhaji yang nampak dikerjakan bahkan diumumkan, sebaliknya ibadah puasa tidak diketahui. Manusia dapat berpura-pura berpuasa. Sisi lain berpuasa yakni kewajiban ini hanya kepada orang beriman. Jadi jelas, hanya orang beriman yang diminta berpuasa.
Semua mengerti, hakikat dan dimensi berpuasa sangat berdampak pada aspek sosial dan diri sendiri. Dalam hal ini, kita kutip makna berpuasa menurut intelektual Islam, Prof. M. Quraish Shihab. Disebutkan, ada tiga hakikat puasa. Pertama, upaya mengendalikan diri dari nafsu yang membelenggu
atau sabar, terhindar dari perbuatan-perbuatan yang mendatangkan siksa, sehingga memperoleh derajat muttaqin, dan berusaha mengembangkan potensinya agar mampu membentuk dirinya sesuai dengan “peta” Tuhan dengan jalan mencontoh Tuhan dalam sifat-sifat-Nya. Kedua, puasa sebagai upaya memperoleh kesabaran. Pada hakikatnya, puasa adalah mengendalikan diri dari keinginankeinginan syahwat yang dapat mengganggu ketentraman jiwanya. Mengendalikan inilah yang disamakan dengan sikap sabar, baik dari segi pengertian bahasa maupun esensi kesabaran dan puasa.
Puasa Ketiga, puasa merupakan kewajiban yang memerlukan kesabaran. Allah SWT dengan segala kemurahan-Nya bermaksud memberi imbalan bagi yang memenuhi apa yang diwajibkan-Nya itu. Untuk itu, Allah SWT menegaskan kedekatanNya kepada hambahamba-Nya, khususnya mereka yang berpuasa, dan menganjurkan kepada mereka agar dalam berpuasa memperbanyak permohonan dan harapan kepada Allah.
Apa hasil akhir dari berpuasa? Tidak lain yakni menjadi manusia yang bertaqwa. Quraish menuturkan, manusia bertaqwa membentuk manusia yang tangguh dan sehat jiwanya. Hal ini bertitik tolak dari sikap yang muncul dari ibadah puasa untuk mendidik manusia dengan kesabaran dan meneladani sifat-sifat Allah SWT.
Tidak diragukan lagi, setelah sebulan berpuasa, maka yang berpuasa terjadi perubahan perilaku ummat dari kurang baik menjadi baik. Jika puasa sebagai pusat pelatihan, pada akhirnya kita memperoleh sertifikat kelulusan yang dibuktikan dengan kemampuan menerapkan hal-hal yang baik selama berpuasa. Kita sering mendengar, “Ini lagi puasa tidak boleh menipu.” Jika selama Ramadhan kita dapat menahan diri tidak berbohonng, rajin mendepositokan kebajikan dan lain-lain, maka hal-hal tersebut wajib dilaksanakan setelah puasa.
Masih menurut Quraish, hakikat utama berpuasa yakni membangkitkan kesadaran dalam beribadah. Kesadaran atau keikhlasan dalam beramal adalah salah satu puncak bermunajat kepada Allah SWT. Kita beribadah karena mengharapkan ridha Allah SWT, bukan karena perlu dihormati. Dalam hal in, perlu kita catat penegasan Quraish yang mengutip Sabda Rasulullah SAW: “Banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak memperoleh dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga”.
Semoga kita tidak termasuk yang lelah berpuasa, namun tidak memperoleh faedah, karena melakukan hal-hal yang mengurangi nilai pahala puasa, bahkan membatalkan puasa.