Khutbah Jum’at, Tgk. Syarifuddin, MA., Ph.D, Imum Chik Mesjid Jamik Baitusshalihin Ulee Kareng Banda Aceh
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda :
“Barangsiapa berpuasa Ramadhan atas dasar iman dan mengharap pahala dari Allah, niscaya akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Membaca hadis itu, terbesit dipikiran kita, sungguh dimanja orang yang berpuasa. Alangkah murah ampunan Allah SWT,hanya sekedar menahan rasa lapar dan haus mulai matahari terbit hingga matahari terbenam selama bulan Ramadhan, seluruh dosa yang telah kita perbuat dihapuskan dan diputihkan kembali seperti bayi baru lahir. Namun apakah benar seperti itu? Jika benar, seperti apa puasa yang bisa membuat manusia yang telah berlumur dosa bisa kembali seperti bayi suci? Lantas puasa yang bagaimana yang mampu mengendalikan hawa nafsu dari pada al-fakhsya’ wa almungkar? Dan puasa yang bagaimana yang mampu membangun sikap anti korupsi?
Kenapa presoalan-persoalan ini menjadi penting untuk diuraikan saat ini. Hal ini dikarenakan tumbuhnya pemahaman di atas itu lantaran Ramadhan hanya dipandang sekadar formalitas belum menyentuh sisi subtansial. Ramadhan juga masih dipandang ‘waktu suci’. Waktu sifatnya tentatif dan sesaat. Ketika ‘waktu suci’ itu berlalu, maka prilaku buruk, seperti korupsi kembali dilakukan. Bahkan ada yang tidak menghormati ‘waktu suci’.
Secara sederhana pengertian puasa atau yang disebut ”shiyâm” dan “shaum” dalam bahasa Arab, secara etimologi berarti al-imsak (menahan diri) dari sesuatu baik dalam bentuk perkataan maupun perbuatan. Oleh karenanya, konsekuensi berpuasa adalah mengimplementasikan nilai-nilai luhur yang diajarkan oleh puasa itu sendiri, yakni kejujuran, pengendalian diri, dan kesediaan berbagi sesama.
Surat al Baqarah ayat 183: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”, telahmenjelaskan energi positif yang diberikan Tuhan kepada orang-orang yang berpuasa bukan berupa pengharapan untuk pemutihan dosa dan sanksi-Nya di akhirat. Tetapi adalah orang-orang (kaum) yang bisa menjaga moralitas dan akhlak dari perbuatan keji, termasuk korupsi, suap dan lainnya. Dalam ayat ini, pengertian orang bertaqwa tidak sekedar orang dan kaum yang menjalankan ibadah formal dan ritual saja seperti shalat. Akan tetapi adalah orang dan kaum yang memiliki integritas tinggi terhadap amanah (jabatan) yang diberikan kepadanya.
Tak ubahnya orangorang muttaqîn adalah orang-orang (kaum) yang bisa menjaga moralitas dan akhlak dari perbuatan keji dan mungkar, termasuk korupsi, suap dan lainnya. Dalam ayat ini, pengertian orang bertaqwa tidak sekedar orang dan kaum yang menjalankan ibadah formal puasa dan ritual shalat saja. Akan tetapi adalah orang dan kaum yang memiliki integritas tinggi terhadap amanah (jabatan) yang diberikan kepadanya.
Jadi puasa dalam pengertian al-imsâk ‘an al-akli wa al-syurb wa sâir al-mufthirât ma’a alniyyah min thulû’ al-fajr ilâ ghurûb al-syams (menahan makan, minum dan hal-hal yang membatalkan dengan niat sejak terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari), seseorang tidak secara otomatis akan menjadi manusia suci. Karena pemahaman itu merupakan satu bentuk kesombongan belaka, yang justru semakin memperburuk hati dan perilaku yang bersangkutan. Berharap-harap dengan puasa menjadi orang baik, malah sebaliknya.
Coba kita simak satu cerita menarik berikut ini yang terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab. Suatu hari beliau melakukan perjalanan dari Madinah ke Mekah. Di tengah perjalan beliau berjumpa dengan seorang anak gembala yang tampak sibuk mengurus kambingkambingnya. Seketika itu muncul keinginan Khalifah untuk menguji kejujuran si gembala. Khalifah Umar berkata, “Wahai Anak Pegembala, juallah kepadaku seekor kambingmu.”“Aku hanya seorang budak, tidak berhak menjualnya,” jawab Si Pengembala.
“Katakan saja nanti kepada tuanmu, satu ekor kambingmu dimakan serigala,” lanjut Khalifah. Kemudian Si Pengembala menjawab dengan sebuah pertanyaan, “Lalu, di mana Allah?” Khalifah Umar tercengangkarena jawaban itu. Sambil meneteskan air mata ia pun berkata, “Kalimat ‘di mana Allah’ itu telah memerdekakan kamu di dunia ini, semoga dengan kalimat ini pula akan memerdekakan kamu di akhirat kelak.”
Kisah di atas merupakan gambaran pribadi yang jujur, menjalankan kewajiban dengan disiplin yang kuat, dan tidak akan melakukan kebohongan walau diiming-imingi dengan keuntungan materi.
Demikian juga hal ini terjadi pada seorang muslim yang lagi menjalankan puasa. Dia akan berlaku jujur dan menjalankan disiplin yang kuat, tidak melakukan kebohongan walau sebenarnya dia bisa melakukannya, misalnya makan atau minum, namun karena dia beriman bahwa puasanya hanya karena Allah maka dia bisa menahan dirinya.
Pelajaran-pelajaran berharga tersebut ditambah kearifan menjalani hidup dan mempunyai solidaritas sosial yang tinggi merupakan bentuk pelajaran anti korupsi yang didapatkan oleh seseorang yang menjalankan ibadah puasa.Jika ibadah puasa bisa dikerjakan secara ikhlas, serius dan jujur dijamin kualitas keimanan seseorang bakal meningkat tajam setelah menjalani ibadah puasa ini.
Pada tataran ini, Imam al-Ghazali dalam bukunya Ihya Ulumuddin, tingkatan puasa diklasifikasi menjagi tiga, yaitu Shaum al-‘Umûm (puasa umum), Shaum al-Khusûs (puasa khusus), danShaum Khusûs al-Khusûs (puasa khusus yang lebih khusus lagi).
Puasa umum adalah tingkatan yang paling rendah yaitu menahan dari makan, minum dan jima’. Puasa umum ini hanyalah puasa secara seremonial belaka. Puasa seremonial berlandaskan hukum literal saja. Imbasnya, pengaplikasian ibadah puasa dalam kehidupan seharihari cenderung stagnan. Tidak ada dinamika dialektika sosial antara pelaksanaan salah satu Rukun Islam tersebut dengan kehidupan nyata.
Puasa khusus, di samping menahan yang tiga hal tadi, juga memelihara seluruh anggota tubuh dari perbuatan maksiat atau tercela. Orang-orang yang berpuasa secara psikokultural mendominasi kelompok kedua. Yakni pelaku ibadah puasa yang tidak saja menjalankan ibadah puasa atas dasar kesadaran diri. Namun lebih menekankan pada aktualisasi ibadah puasa hingga menyentuh wilayah kultural dan psikologis.
Sedangkan puasa khusus yang lebih khusus adalah puasa hati dari segala kehendak hina dan segala pikiran duniawi serta mencegahnya memikirkan apa-apa yang selain Allah. Orang-orang yang berpuasa khusus yang lebih khusus menjadi grup terakhir. Kelompok inilah yang menjadi golongan paling ideal dalam menjalankan ibadah puasa. Totalitas pemaknaan ibadah puasa tidak lagi pada tataran fisik dan rohani saja. Tetapi sekaligus menembus kosmos kesadaran manusia menuju cahaya Ilahi. Ibadah puasa, bukan sekedar menahan rasa lapar dan dahaga serta hawa nafsu yang membatalkan puasa. Namun puasa level ketiga tadi adalah hanyalah puasanya para nabi-nabi, shiddiqin, dan muqarrabin.
Terus sayangnya, tidak semua pemimpin, pejabat negara, tokoh masyarakat, anggota legislatif, para pamong praja dan para aparat penegak hukum mampu puasa khusus. Kalau sudah demikian, bagaimanakah nasib pemberantasan korupsi di negeri ini nantinya?
Di sinilah perlunya pemahaman kembali makna perintah ibadah puasa secara menyeluruh. Jangan sampai ibadah puasa hanya diartikan sekedar menahan rasa lapar dan dahaga semata. Penghayatan makna ibadah puasa secara transedental yang meliputi pencerahan makna puasa fisik-batiniah, harus dibarengi perilaku sosial yang membawa pencerahan setiap makhluk hidup dan lingkungan di sekitar kita. Sehingga dengan ibadah puasa ini salah satunya menjadi wahana untuk mendidik diri tidak koruptif. Wallâh a’lam bi al-Shawâb.