Qana’ah di Dunia, Jannah di Akhirat

Gema JUMAT, 25 Desember 2015 Oleh Ahmad Faizuddin Manusia sering merasa tidak cukup dengan apa yang sudah dimiliki. Kebanyakan kita terkesima dengan kelebihan dan kilauan harta orang lain. Maka, tak jarang kita terjebak dalam perasaan gundah dan gulana. Apabila kita ingin hidup bahagia, konsepnya sederhana: lihatlah orang di bawahmu dalam masalah dunia dan lihatlah orang […]

...

Tanya Ustadz

Agenda MRB

Gema JUMAT, 25 Desember 2015
Oleh Ahmad Faizuddin
Manusia sering merasa tidak cukup dengan apa yang sudah dimiliki. Kebanyakan kita terkesima dengan kelebihan dan kilauan harta orang lain. Maka, tak jarang kita terjebak dalam perasaan gundah dan gulana. Apabila kita ingin hidup bahagia, konsepnya sederhana: lihatlah orang di bawahmu dalam masalah dunia dan lihatlah orang di atasmu dalam masalah akhirat.
Seorang kawan bercerita kepada saya tentang pengalamannya dalam hal adu kecepatan lari. Pada suatu hari, dia bangun pagi dan bersiapsiap untuk jogging. Setelah melakukan pemanasan yang cukup, dia mulai berlari mengikuti rute jalan mengelilingi kompleks perumahannya. Matanya tertuju kepada sosok di depan yang berada sekitar 100 meter darinya. Saat itu dia berpikir, “Saya akan melampaui lelaki tersebut pada blok selanjutnya.”
Mulailah ia mempercepat tempo lari. Ternyata setelah melalui dua blok, lelaki yang ia kejar masih berada sekitar 20 meter di depannya. Ia menambah kecepatan lari dengan harapan dapat melampaui lelaki tersebut pada blok selanjutnya. Ketika langkah kakinya melewati si lelaki tersebut, ia merasa sangat bahagia, “Yay! Akhirnya saya berhasil mengalahkannya.”
Ia berusaha menoleh untuk melihat lelaki yang menjadi saingannya tersebut. Ternyata lelaki tersebut hanyalah seorang kakek tua dan tidak peduli sama sekali dengan orangorang yang mendahuluinya. Akhirnya ia sadar, belokan ke rumahnya sudah jauh tertinggal di belakang. Maka terpaksa dia berlari kembali ke belakang untuk pulang ke rumah.
Begitulah hidup kita. Semua usaha dan tenaga kita terkuras untuk berkompetisi dengan orang lain. Kita selalu ingin menang dan lebih dari orang lain. Padahal, orang yang kita saingi tidak tahu-menahu dan bahkan tidak perduli dengan kita sama sakali. Sampai akhirnya kita baru menyadari bahwa kita sudah melakukan hal-hal yang tidak perlu. Watak manusia memang tidak pernah puas. Apabila sudah mendapatkan motor, dia ingin mendapatkan mobil. Sudah mendapatkan mobil Kijang, dia ingin Mercedes Benz. Sudah punya rumah sederhana, ingin membangun rumah tingkat tiga. Sudah dapat jabatan empuk, masih saja memikirkan proyek untuk menambah keuntungan bulanannya. Dan seterusnya tiada kesudahan apa yang dia inginkan. Sebagai seorang Muslim, sikap yang benar dalam hal dunia adalah senantiasa melihat orang yang di bawah kita. Masih banyak orang yang hidup miskin, bahkan untuk makan sehari-hari saja susah. Maka, dalam masalah harta lihatlah ke bawah. Konsep melihat ke bawah itu sederhana: yang punya kelebihan, lihatlah orang yang punya kekurangan.
Misalkan yang punya mobil, lihatlah yang punya motor. Yang punya sepeda, lihatlah yang berjalan kaki. Yang masih hidup, lihatlah orang yang sudah mati. Dengan demikian akan tumbuh sifat qana’ah dan rasa ingin membantu, sebagai bentuk empati kepada orang lain. Dengan melihat ke
bawah, kita tidak akan menganggap remeh nikmat Allah SWT dan senantia menjadi hamba yang bersyukur. Dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Pandanglah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah engkau pandang orang yang berada di atasmu (dalam masalah ini). Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah padamu” (HR Bukhari dan Muslim).
Sebaliknya dalam masalah agama dan akhirat, maka dianjurkan untuk melihat ke atas. Jika orang bisa shalat dengan khusyu’ dan menjaga jama’ah, bukankah kita juga bisa? Jika orang bisa rutin membaca Qur’an dan bershadaqah, mengapa kita tidak mengikuti langkahnya? Sikap seorang Muslim yang benar dalam hal ini adalah berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan.
Allah SWT berfi rman, “Sesungguhnya orang yang berbakti itu benar-benar berada dalam kenikmatan yang besar (surga), mereka (duduk) di atas dipandipan sambil memandang. Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan mereka yang penuh kenikmatan. Mereka diberi minum dari khamar murni yang dilak (tempatnya), laknya adalah kesturi; dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.” (QS Al Muthaffi fi n: 22-26).
Akhirnya, mari kita berlomba-lomba berbuat kebaikan (QS Al-Maidah: 48), bukan berlombalomba berbuat keburukan. Allah SWT menjanjikan surga seluas langit dan bumi bagi mereka yang senantiasa bertaqwa kepada-Nya (QS Ali ‘Imran: 133). Pedoman berlomba menurut Imam Hasan Al-Bashri, “Apabila engkau melihat seseorang mengunggulimu dalam masalah dunia, maka unggulilah dia dalam masalah akhirat.”
Wallahu a’lam. Penulis, mahasiswa program doctoral di Kulliyyah of Education, Educational Management and Leadership, International Islamic University Malaysia (IIUM)
Qana’ah di Dunia,
Jannah di Akhirat
Gema JUMAT, 25 Desember 2015
Oleh Ahmad Faizuddin
Manusia sering merasa tidak cukup dengan apa yang sudah dimiliki. Kebanyakan kita terkesima dengan kelebihan dan kilauan harta orang lain. Maka, tak jarang kita terjebak dalam perasaan gundah dan gulana. Apabila kita ingin hidup bahagia, konsepnya sederhana: lihatlah orang di bawahmu dalam masalah dunia dan lihatlah orang di atasmu dalam masalah akhirat.
Seorang kawan bercerita kepada saya tentang pengalamannya dalam hal adu kecepatan lari. Pada suatu hari, dia bangun pagi dan bersiapsiap untuk jogging. Setelah melakukan pemanasan yang cukup, dia mulai berlari mengikuti rute jalan mengelilingi kompleks perumahannya. Matanya tertuju kepada sosok di depan yang berada sekitar 100 meter darinya. Saat itu dia berpikir, “Saya akan melampaui lelaki tersebut pada blok selanjutnya.”
Mulailah ia mempercepat tempo lari. Ternyata setelah melalui dua blok, lelaki yang ia kejar masih berada sekitar 20 meter di depannya. Ia menambah kecepatan lari dengan harapan dapat melampaui lelaki tersebut pada blok selanjutnya. Ketika langkah kakinya melewati si lelaki tersebut, ia merasa sangat bahagia, “Yay! Akhirnya saya berhasil mengalahkannya.”
Ia berusaha menoleh untuk melihat lelaki yang menjadi saingannya tersebut. Ternyata lelaki tersebut hanyalah seorang kakek tua dan tidak peduli sama sekali dengan orangorang yang mendahuluinya. Akhirnya ia sadar, belokan ke rumahnya sudah jauh tertinggal di belakang. Maka terpaksa dia berlari kembali ke belakang untuk pulang ke rumah.
Begitulah hidup kita. Semua usaha dan tenaga kita terkuras untuk berkompetisi dengan orang lain. Kita selalu ingin menang dan lebih dari orang lain. Padahal, orang yang kita saingi tidak tahu-menahu dan bahkan tidak perduli dengan kita sama sakali. Sampai akhirnya kita baru menyadari bahwa kita sudah melakukan hal-hal yang tidak perlu. Watak manusia memang tidak pernah puas. Apabila sudah mendapatkan motor, dia ingin mendapatkan mobil. Sudah mendapatkan mobil Kijang, dia ingin Mercedes Benz. Sudah punya rumah sederhana, ingin membangun rumah tingkat tiga. Sudah dapat jabatan empuk, masih saja memikirkan proyek untuk menambah keuntungan bulanannya. Dan seterusnya tiada kesudahan apa yang dia inginkan. Sebagai seorang Muslim, sikap yang benar dalam hal dunia adalah senantiasa melihat orang yang di bawah kita. Masih banyak orang yang hidup miskin, bahkan untuk makan sehari-hari saja susah. Maka, dalam masalah harta lihatlah ke bawah. Konsep melihat ke bawah itu sederhana: yang punya kelebihan, lihatlah orang yang punya kekurangan.
Misalkan yang punya mobil, lihatlah yang punya motor. Yang punya sepeda, lihatlah yang berjalan kaki. Yang masih hidup, lihatlah orang yang sudah mati. Dengan demikian akan tumbuh sifat qana’ah dan rasa ingin membantu, sebagai bentuk empati kepada orang lain. Dengan melihat ke
bawah, kita tidak akan menganggap remeh nikmat Allah SWT dan senantia menjadi hamba yang bersyukur. Dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Pandanglah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah engkau pandang orang yang berada di atasmu (dalam masalah ini). Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah padamu” (HR Bukhari dan Muslim).
Sebaliknya dalam masalah agama dan akhirat, maka dianjurkan untuk melihat ke atas. Jika orang bisa shalat dengan khusyu’ dan menjaga jama’ah, bukankah kita juga bisa? Jika orang bisa rutin membaca Qur’an dan bershadaqah, mengapa kita tidak mengikuti langkahnya? Sikap seorang Muslim yang benar dalam hal ini adalah berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan.
Allah SWT berfi rman, “Sesungguhnya orang yang berbakti itu benar-benar berada dalam kenikmatan yang besar (surga), mereka (duduk) di atas dipandipan sambil memandang. Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan mereka yang penuh kenikmatan. Mereka diberi minum dari khamar murni yang dilak (tempatnya), laknya adalah kesturi; dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.” (QS Al Muthaffi fi n: 22-26).
Akhirnya, mari kita berlomba-lomba berbuat kebaikan (QS Al-Maidah: 48), bukan berlombalomba berbuat keburukan. Allah SWT menjanjikan surga seluas langit dan bumi bagi mereka yang senantiasa bertaqwa kepada-Nya (QS Ali ‘Imran: 133). Pedoman berlomba menurut Imam Hasan Al-Bashri, “Apabila engkau melihat seseorang mengunggulimu dalam masalah dunia, maka unggulilah dia dalam masalah akhirat.”
Wallahu a’lam. Penulis, mahasiswa program doctoral di Kulliyyah of Education, Educational Management and Leadership, International Islamic University Malaysia (IIUM)

Dialog

Khutbah

Tafsir dan Hadist

Dinas Syariat Islam

 Rasulullah, Bisnisman Sukses

Dr. Tgk. H. Muhammad Yasir Yusuf, M.A ( Dosen Fakultas Ekonomi Bisnis Islam (FEBI) Universitas Islam Negeri Ar-Raniry)  Rasulullah, Bisnisman Sukses Maulid Nabi telah menjadi

Mensyukuri Pendidikan Nonformal

Gema, 16 April 2018 Muhasabah Senin 29 Rajab 1439 Oleh Dr. Sri Suyanta (Wakil Dekan I Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Ar-Raniry) Saudaraku, di samping

Meningkatkan Kepedulian Sosial Bermasyarakat Melalui Amar Ma’ruf Nahi Mungkar

Hujjatul Islam Imam al-Gazali menyebutkan amar makruf nahi mungkar sebagai poros (quṭub) agama yang paling agung. Menurutnya, amar makruf nahi mungkar merupakan perkara yang sangat penting dalam kehidupan manusia, dan karenanya Allah mengutus para nabi yang tersebar di berbagai penjuru dunia (Iḥya Ulum ad-Din, 2005: 781).

Menuju Islam Khaffah

Tabloid Gema Baiturrahman

Alamat Redaksi:
Jl. Moh. Jam No.1, Kp. Baru,
Kec. Baiturrahman, Kota Banda Aceh,
Provinsi Aceh – Indonesia
Kode Pos: 23241

Tabloid Gema Baiturrahman merupakan media komunitas yang diterbitkan oleh UPTD Mesjid Raya Baiturrahman

copyright @acehmarket.id 

Menuju Islam Kaffah

Selamat Datang di
MRB Baiturrahman