Jumlah dana otonomi khusus (otsus) yang diterima Aceh tahun 2023 menjadi Rp 2 trilun. Angka ini menurun drastis dibandingkan selama ini jumlahnya setiap tahun Rp 8 triliun. Tahun 2023, jumlah Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (RAPBA) hanya bisa Rp 10 triliun lebih. Sementara APBA tahun sebelumnya 2022 Rp 16 triliun.
Untuk mengantisipasi dampak pengurangan dana otsus, Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK), Prof Dr Mukhlis Yunus SE, MS, menyampaikan, dana otsus merupakan sumber dana yang diberikan oleh Pemerintah Pusat untuk membantu pembangunan di daerah atas pertimbangan-pertimbangan tertentu, misalnya untuk percepatan pembangunan Aceh.
Sumber dana otsus memiliki waktu terbatas pemberiannya, sehingga Aceh harus bersiap-siap lebih mandiri bila waktunya tiba. Pemerintah harus menggali sumber-sumber dana lain yang ada di Provinsi Aceh, misalnya pendapatan asli daerah.
“Sumber pendapatan daerah kalau memang belum optimal, harus dioptimalkan,” paparnya kepada Tabloid Gema Baiturrahman, Rabu, 24 Agustus 2022.
Menurutnya, pemerintah perlu menyusun strategi dan taktik meningkatkan sumber pendapatan daerah untuk mengurangi ketergantungan dengan Pemerintah Pusat. Peningkatan pendapatan daerah dapat dilakukan melalui peningkatan sumber daya manusia (SDM) agar lebih produktif. SDM produktif bukan hanya memiliki pengetahuan, namun mampu memberikan suatu yang bernilai terhadap dirinya dan masyarakat sekitar.
Di samping itu, perguruan tinggi perlu mengambil peran dalam pendidikan vokasi, sehingga output perguruan tinggi tidak menambah angka pengangguran baru. “Apalagi pengangguran intelektual yang itu akan sangat berbahaya”.
Dia menyebutkan, Aceh memiliki sumber daya alam berlimpah sebagai anugerah Allah, baik itu di dalam maupun di luar perut bumi. Masyarakat Aceh tidak boleh berpangku tangan, melainkan harus kreatif mengelola dan mengoptimalkan sumber daya alam tersebut.
Namun sayangnya, di daerah dengan sumber daya alam melimpah membuat sumber daya manusia cepat puas. Hal itu berdampak pada melemahnya sumber daya manusia. “Sumber daya manusia harus dikawinkan dengan sumber daya alam untuk mengoptimalkan pendapatan bagi masyarakat Aceh jangka panjang,” pungkasnya.
Dia mengimbau, agar dana otsus diinventasikan, sehingga meningkatan pendapatan Aceh. Penggunaan dana untuk kebutuhan konsumtif harus dialihkan ke produktif. Kemudian, perlu dilakukan penghematan penggunaan dana otsus. Salah satu penyebab kemisikinan adalah penggunaan dana untuk kebutuhan konsumtif dibandingkan investasi. “Investasilah pada kebutuhan, bukan pada keinginan,” terangnya.
Dia menegaskan, dalam dimensi apapun kita tidak boleh mubazir. Sesungguhnya orang mubazir adalah saudara setan yang kufur dengan tuhannya.
Kebocoran dana tersruktur atau tidak harus dikurangi. Penggunaan uang pemerintah harus diawasi dengan ketat. Tidak boleh uang tersebut mengalir demi kepentingan pribadi supaya uang tersebut kembali kepada rakyat.
Ketika nantinya dana pembangunan Aceh semakin terbatas, maka pemerintah dapat melibatkan dunia usaha. Pemerintah bisa membagikan keuntungan dan risiko kerugian bersama. Pemerintah juga bisa bisa menutupi kekurangan modal eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam melalui pihak dari dalam ataupun di luar negeri.
Masyarakat harus diajak berpikir positif, bahwa Pemerintah Pusat memiliki iktikad baik dalam pembangunan Aceh. Ia mengapresiasi Pj Gubernur Aceh, Achmad Marzuki, yang mengusahakan penambahan dana otsus 2,25 persen sebagaimana diperoleh Papua.
Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Aceh, T Ahmad Dadek, SH, MH, menyampaikan, Pj Gubernur Aceh Achmad Marzuki sedang berupaya mendapatkan perhatian Pemerintah Pusat untuk menutupi kekurangan dana otsus yang terjadi pada 2023.
“Secara politik kita terus berusaha agar dana otsus diperpanjang. Harapan itu harus tetap ada,” ujarnya, yang masih berada di Jakarta melalui sambungan seluler, Kamis, 25 Agustus 2022.
Jika dana otsus tidak diperpanjang, maka ke depan pemerintah akan memperbanyak belanja pembangunan dari dana non pemerintah, seperti dana Corporate Social Responsibility (CSR) yang sudah dimulai sejak 2021. Tahun 2022 ada sekitar Rp 75 miliar dananya.
Selanjutanya melakukan penghematan seperti mengurangi belanja pegawai, tapi dialihkan untuk belanja modal. Kini, pemerintah sedang berupaya merintis penjualan karbon. Artinya, masyarakat internasional harus memberikan kompensasi terhadap perawatan hutan Aceh seperti dilakukan di Kalimantan Timur.
Dia menambahkan, melalui badan usaha milik daerah diharapkan bisa meningkatkan pendapatan asli Aceh. Kepada masyarakat dia mengharapkan terus meningkatkan produktifitas, terutama di bidang pertanian.
Angka kemiskinan Aceh menurun hingga 0,89 persen periode September 2021 hingga Maret 2022. Persentase penduduk miskin di Aceh turun dari 15,53 persen menjadi 14,64 persen. Tertinggi dalam kurun waktu 20 tahun.
Salah satu faktornya pada Maret jumlah padi dipanen dari 150 ribu ton menjadi 250 ribu ton. Nilai tukar petani mengalami peningkatan. “Produktifitas pertanian itu penting,” ucapnya. -Zulfurqan, editor: smh