Gema Jumat, 22 Januari 2016
Oleh : Ahmad Faizuddin
Menjelang akhir semester pelajaran yang lalu, tiga mahasiswa mengajukan keluhan kepada saya. Mahasiswa pertama sering bolos karena harus bekerja untuk membiayai kuliahnya. Mahasiswa kedua merasa gugup dan minder bersaing dengan kawan sekelasnya. Sedangkan mahasiswa ketiga tergolong rajin dan cerdas, namun ia tidak suka dengan ujian. Pernah suatu kali saya ditanya, “Cikgu, boleh tidak kalau saya mengerjakan tugas tambahan saja, tanpa harus mengikuti ujian akhir?”
Menghadapi situasi tersebut, saya membayangkan seandainya pendidikan kita itu gratis, tidak ada sistem ranking dan bebas dari beban ujian yang menakutkan, tentu para pelajar akan sangat senang sekali. Ternyata bayangan tersebut tidak hanya sekedar khayalan. Negara Finlandia telah sukses menerapkan konsep belajar yang menyenangkan dan jauh dari momokmomok di atas.
Cerita tentang Finlandia bukanlah cerita baru. Sejak beberapa dekade terakhir, sistem pendidikan disana terkenal sebagai yang terbaik di dunia dan siswa-siswinya mempunyai prestasi dan kualitas diatas rata-rata. Kemampuan membaca, matematika dan sains siswa-siswa Finlandia bahkan mengalahkan Amerika dan China yang terkenal pintar-pintar. Apa rahasianya?
Pertama, sekolah dimulai pada usia 7 tahun. Dalam tahap awal ini belajar tidak dipaksakan sama sekali. Pertimbangan utamanya adalah kesiapan mental anak untuk belajar. Usia kanak-kanak seharusnya menjadi masa untuk bersosialisasi dan mencari teman, bukan untuk menghafal faktafakta dari buku pelajaran. Jadi untuk menghindari keterpaksaan dalam belajar, Finlandia menerapkan model 45 menit belajar dan 15 menit istirahat. Kebanyakan negara, termasuk Indonesia, menetapkan umur 6 tahun sebagai usia permulaan untuk bersekolah. Di Indonesia malah para orang tua akan marah kalau di jenjang Pendidikan Usia Dini (PAUD) anak tidak diajarkan Calistung (Membaca, Menulis dan Berhitung).
Pengalaman belajar saya di bangku sekolah dulu penuh dengan “goyangan kepala” (baca: terkantuk-kantuk) dalam kelas setiap hari. Apalagi kalau harus duduk manis mendengarkan Ibu atau Bapak guru berceramah selama dua jam penuh. Hasil belajar pun tidak maksimal, karena siswa tidak dapat berkonsentrasi dengan baik. Dengan model 45:15, waktu istirahat menjadi lebih panjang dan otak pun akan segar kembali menerima informasi informasi baru.
Kedua, biaya sekolah gratis. Pemerintah menanggung biaya pendidikan untuk semua anak. Tidak ada perbedaan antara siswa yang miskin dan kaya, semua mendapatkan perlakuan sama. Perhatian besar dari pemerintah Finlandia untuk pendidikan, menjadikan sekolah sebagai tempat yang menyenangkan. Bahkan untuk mendukung kelancaran belajar, sekolah menyediakan makan siang gratis, biaya kesehatan dan biaya transportasi.
Ketiga, guru yang kompeten dan profesional. Untuk meningkatkan kualifikasi guru, pemerintah membiayai sepenuhnya pendidikan mereka, paling kurang sampai jenjang master. Mereka percaya, bahwa semakin baik kualitas guru, semakin baik pula kualitas pendidikan anak-anak di sekolah. Guru adalah profesi yang sangat dikagumi dan tidak mudah untuk menjadi seorang guru di Finlandia. Gaji mereka sangat besar, dua kali lipat lebih besar dibandingkan dengan gaji guru di Amerika Serikat.
Keempat, bebas ujian nasional. Pemerintah mempercayakan sepenuhnya penilaian anak-anak kepada guru. Karena, gurulah yang mengetahui bakat dan kemampuan si anak secara langsung dalam interaksi sehari-hari di kelas. Dengan demikian, belajar pun akan menyenangkan, karena tidak ada yang namanya stress dan tekanan untuk persiapan ujian. Karena tidak ada ujian, maka sistim ranking pun tidak berlaku. Anakanak tidak dibeda-bedakan antara yang pandai dan yang bodoh. Semuanya belajar bersama-sama saling memotivasi untuk mengembangkan potensi masing-masing.
Seandainya model ini diterapkan di Indonesia, tentu belajar akan menjadi lebih menyenangkan. Namun, terlepas dari itu semua, satu hal mendasar patut kita garis-bawahi, yaitu kerjasama yang bagus antara pemerintah, sekolah dan masyarakat di Finlandia untuk menjadikan pendidikan anak-anak mereka berkualitas.
Akhirnya, seperti John Dewey, seorang filsuf dan reformis pendidikan, katakan, “Education is not preparation for life; education is life itself” (pendidikan bukanlah persiapan untuk kehidupan, tapi ia adalah kehidupan itu sendiri). Semoga kita bisa mempersiapkan pendidikan generasi penerus ke arah yang lebih baik. Wallahu a’lam.
Penulis, mahasiswa program Doctoral di Kulliyyah of Education, Educational Management and Leadership, International Islamic University Malaysia (IIUM)