Oleh Dr. Sofyan A. Gani, MA
SEPARuH bulan puasa telah kita lalui. Tinggal mengukur kadar atau capaiannya. Apakah lebih baik dari puasa sebelumnya (orang beruntung), biasa-biasa saja atau lebih buruk dari puasa tahun lalu (golongan yang merugi).
Sebagai mahkluk, manusia sebenarnya tidak pernah berhenti belajar. Boleh saja kita tidak lagi duduk di bangku sekolah/ kuliah maupun dayah, tetapi belajar dari kehidupan, pengalaman terhadap kebesaran dan kekuasaaan Allah terus berlangsung selama kita masih bernafas, termasuk memaknai kenapa Allah meminta kita untuk berpuasa.
Sebagian kita memaknai Ramadhan dengan benar sehingga menunggu kapan datangnya dan bersiap-siap menyambut bulan suci ini. Sebulan penuh kita telah memanfaatkan bulan ini untuk “memanen” pahala yang luar biasa besarnya yang disediakan Allah buat kita. Sebagian lain, mengangggap Ramadhan sama saja dengan bulan dan hari-hari yang telah mereka jalani. Bagi golongan ini, jumlah jam yang habis di warung kopi tetap sama dan bicara yang tidak bermakna terus berlangsung seperti biasa.
Di antara orang-orang yang beruntung selama Ramadhan adalah memanfaatkan bulan ini sebagai bulan ’syahrul at tarbiyah’, sebagai wahana training atau pelatihan guna menghadapi berbagai cobaan dan godaan kehidupan dan penghidupan untuk sebelas bulan ke depan. Berbagai hikmah bulan puasa tentu sudah sering kita dengar dan baca, dan salah satu hikmahnya adalah menjadi sarana mendidik dan melatih sikap dan perilaku kita terhadap Allah SWT dan sesama manusia dengan cara melakukan pendidikan pada diri sendiri, keluarga, dan masyarakat. Sedikitnya ada empat aspek tarbiyah Ramadhan, di antaranya:
1. Mendidik Kesabaran
Seorang yang berpuasa pada siang hari berada dalam kondisi menahan lapar dan dahaga. Dan dalam kondisi ini, seorang mukmin diuji kesabaran dan emosinya seperti menahan amarah dan menahan dirinya dari perkataan yang buruk, dan apa saja yang dapat mengurangi ibadah Ramadhannya. Harapan dari latihan ini tentu saja harus mampu dibawa dalam kehidupan nyata seharihari setelah bulan Ramadhan berlalu.
2. Mendidik
Kedisiplinan Berbuka dan mengakhiri sahur telah diatur dalam waktu tertentu. Makanan halal yang telah terhidang di depan mata tidak boleh dimakan sebelum waktu berbuka tiba. Makan dan minum harus dihentikan pada saat waktu yang telah ditentukan (imsak) walau itu di bawah kontrol kita. Berbagai aksi dan kegiatan telah diatur yang harus diikuti untuk tidak membatalkan puasa. Kedisiplinan ini diharapkan tidak berakhir setelah Ramadhan usai melainkan tetap terpateri dalam diri pribadi pada kehidupan sehari hari.
3. Mendidik Kejujuran
Sikap dan perilaku jujur sering menjadi bahan langka dan dapat berubah-ubah sering perjalanan waktu dan interaksi sesama. Untuk itu, Ramadhan setiap tahun mendidik kita kembali untuk berlaku jujur pada diri sendiri dan meyakinkan kita bahwa Allah melihat dan mengetahui semua perbuatan kita. Kita dapat saja makan dan minim tanpa sepengatahuan orang lain, tetapi sangat yakin dan tertanam dalam kalbu bahwa Allah ada dimana-mana yang selalu melihat dan memantau apa yang kita lakukan. Jujur bukan hanya untuk puasa tetapi harus tetap tercermin dalam kehidupan nyata dalam bentuk sikap dan perilaku.
4. Mendidik Kepedulian terhadap Sesama
Lapar dan dahaga tentu saja tidak dihadapi oleh mereka yang punya, tetapi menjadi pemandangan hari-hari bagi mereka yang miskin yang tidak tau harus makan apa hari ini dan besok. Pengungsi Rohingnya, sebagai contoh, mereka hanya menunggu balas kasihan untuk dapat makan dan minum. Puasa mengajarkan kita untuk menahan makan dan minum berkisar 12 jam dan itu terasa berat. Tentu dapat dibayang buat mereka dengan kondisi seperti ini selama berbulan-bulan. Tentu ini menjadi pendidikan yang mendasar untuk mencintai sesama. Rasulullah saw bersabda, “Bukanlah seorang beriman yang merasa kenyang sementara tetangganya kelaparan.” (HR. Bukhari).
Di akhir tulisan ini penulis mengutip pendapat Al-Ghazali terkait pendidikan melalui puasa. Al-Ghazali mengatakan puasa mendidik kita agar berakhlak dengan akhlak Allah SWT, meneladani perilaku malaikat dalam hal menahan diri dari hawa nafsu, memiliki kedudukan (derajat) di atas binatang karena dengan cahaya akal pikirannya manusia mampu mengalahkan hawa nafsunya….”.
Penulis, dosen pada FKIP Unsyiah dan anggota MPD Aceh.