Khutbah Jum’at, H. Syabuddin Gade, Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Ar-Raniry Banda Aceh
TiDAk diragukan sedi kitpun, bahwa ramadhan adalah bulan pendidikan bagi semua orang beriman. Allah memanggil semua orang beriman dengan penuh kelembutan;“Ya ayyuhaal-ladzina amanu” (wahai orang-orang yang beriman). Kemudian, Allah menetapkan dengan tegas materi pembelajaran pada bulan ramadhan, yaitu: “kewajiban menunaikan ibadah puasa bagi semua orang beriman sebagimana diwajibkan kepada umat sebelumnya”. Tujuannya adalah agar mereka bertaqwa kepada Allah”. Inilah inti dari firman Allah dalam Q.S. 2: 183.
Melalui ibadah puasa ramadhan, Allah hendak mendidik umat Islam menjadi hamba yang bertaqwa dengan menegakkan segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya, baik dalam konteks “hablun min Allah” maupun “hablun min al-nas”. Sehubungan dengan itu, melalui khutbah singkat ini khatib ingin mengajak kita semua merenungi tausiah berikut:
Pertama, memperkuat “hablun min Allah”. Bagi seorang mukmin tidak cukup mengucapkan dua kalimah syahadah saja, tetapi juga sekurangkurangnya wajib mengakui sekaligus menegakkan “ibadah mahdhah” dengan tulus ikhlas karena Allah(seperti menegakkan shalat, puasa, zakat dan menunaikan ibadah haji bagi mereka yang mampu). Dan, akan lebih sempurna lagi, sekiranya seorang mukmin juga melaksanakan ibadah nawafil(ibadah sunnah, seperti shalat rawatib, shalat sunnah lainnya, rajin membaca al-Qur’an, berzikir, istighfar dsb).Karena itu, sangat disayangkan bila saudara-saudara kita seiman masih mengabaikan perintah agama dalam konteks “hablun min Allah”, misalnya jarang/ tidak menegakkan shalat dan enggan berpuasa, bahkan ada yang tersesat, dsb. Untuk itu, khatib mengajak diri, jama’ah jum’at sekalian dan seluruh umat Islam yang mendengar siaran khutbah ini agar terus menerus menjaga dan menegakkan “hablun min Allah” dengan tulus dan ikhlas, baik dengan melaksanakanibadah mahdhah maupun ibadah nawafil. Marilah pada bulan mulia ini kita memetik pahala yang berlipatganda, meraih rahmah, maghfirah dan mengejar ridha Allah sebagai bekal kita di akhirat kelak! Bersegeralah kita mengambil kesempatan ini, karena kita tidak tahu apakah setelah hari ini kita masih hidup ataupun tidak?
Kedua,memperkuat “hablun min al-nas. Artinya, melalui puasa ramdahan Allah mendidik kita agar aktif dan kreatif menegakkan “hablun min alnas”(hubugan antar sesama manusia) dengan sebaik-baiknya. Kita diminta berpuasa bukan hanya sekadar menahan diri dari makan, minum, berhubungan suami-isteri dan hal-hal yang membatalkan puasa, tetapi juga diminta memperkuat “hablun min al-nas” dengan cara menjauhkan diri dari dusta, mengumpat, adu-domba, sumpah palsu dan melihat dengan syahwat. Sebab, kelima hal ini bukan hanya menggugurkan pahala orang berpuasa (Imam al-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab,: 6/356), tetapi juga bisa menjadi pemicu rusaknya hubungan antar sesama. Betapa banyak kasus dalam kehidupaan sehari-hari di mana gara-gara “dusta”, “mengumpat”, “adu domba” atau “sumpah palsu” menjadi pemicu putusnya silaturrahim?
Untuk memperkuat “hablun min al-nas”, melalui puasa ramadhan kita juga dididik menjadi manusia berjiwa sosial. Kita diwajibkan membayar zakat fitrah,disunnahkan memberi makan orang buka puasa dan bersedekah.Ini semua mengandung nilai sosial kepada sesama. Bahkan, jika kita yang mampu mau mengumpulkan “jatah makan siang” selama bulan ramadhan untuk kepentingan ekonomi fakir miskin, maka akan memberi manfaat luar biasa kepada mereka. Jika diandaikan “jatah makan siang” misalnya Rp.10 ribu per orang, kemudian dikalikan 1 juta rakyat Aceh yang mampu dan mau bersedekah, kemudian dikalikan 29 hari, maka akan terhimpun dana sebanyak Rp. 290 milyar. Infaq sebanyak ini tentu bisa dijadikan sebagai modal pemberdayaan ekonomi fakir miskin di Aceh. Coba bayangkan jika hal ini terlaksana setiap tahun? Tentu akan sangat bermanfaat bagi para fakir miskin dan pahala dari Allah-pun luar biasa tercurahkan.
Ketiga, menjadikan puasa sebagai perisai (junnah). Sesungguhnya puasa itu adalah tameng atau perisai yang melindungi seorang Muslim dari melakukan setiap kekeliruan, kemaksiatan dan dosa. Sebab jiwa orang berpuasa akan merasa diawasi oleh Allah dan merasa akut akan pahala puasanya ketika jika melanggar perintah Allah. Sehubungan dengan itu, marilah kita renungi sabda Rasulullah saw. berikut, yang artinya:
“Puasa itu junnah (tameng atau perisai). Oleh karena itu hendaklah orang yang berpuasa itu tidak berkata kotor, dan tidak mengerjakan pekerjaan orang-orang bodoh. Jika seseorang melaknatnya atau mencaci makinya, maka katakan ‘saya sedang puasa’ sebanyak dua kali (di hati dan di mulut). Sungguh, demi Dzat yang jiwaku ada dalam genggaman tangan (kekuasaan)-Nya bahwa menyengatnya bau busuk mulut orang yang berpuasa itu adalah lebih harum di sisi Allah SWT daripada bau minyak misik. Ia meninggalkan makanannya, minumannya, dan keinginan syahwatnya karena ketaatannya kepada-Ku. Puasa itu untuk-Ku, sehingga Aku yang akan membalasnya. Dimana satu kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kebaikkan yang sama.” (HR. Bukhari).n

