Gema JUMAT, 8 Januari 2016
Prof. Dr. Tgk. H. Azman Ismail, MA (Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman)
Katakanlah: “Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah:”apakah sama orang buta dengan orang yang melihat”? maka apakah kamu tidak memikirkannya? (QS.Al-Anam ayat 50).
Ayat ini, Allah memerintahkan kepada Rasulullah untuk mengatakan bahwa rasul adalah manusia biasa, yang tidak memiliki apa yang menjadi kekuasaan dan keperkasaan Allah dalam hal-hal yang berkaitan dengan yang ghaib, kecuali apa yang diberikan kepada Rasulullah berupa mukjizat saja, tidak lebih. Lalu Rasulullah juga diperintahkan Allah untuk menyatakan bahwa dirinya bukanlah berupa malaikat yang diutus oleh Allah untuk berdakwah kepada manusia.
Rasul hanyalah manusia biasa yang hanya menyampaikan apa yang telah diwahyukan Allah kepadanya berupa perintah dakwah untuk bertauhid dan menyembah Allah serta menunaikan apa yang telah menjadi syariat bagi manusia. Demikianlah ayat tersebut berulang-ulang disebutkan dalam al-Qur’an tentang posisi Rasulullah sebagai manusia biasa, yang hanya menyampaikan apa yang diwahyukan oleh Allah. Rasul memiliki fi trah sebagai manusia yang hidup seperti manusia kebanyakan. Rasulullah makan, minum, istirahat, tidur dalam kapasitasnya sebagai manusia.
Dalam ayat lain yang berkaitan dengan ayat ini, penentangan yang dilakukan oleh orang-orang kafi r adalah adanya keinginan mereka agar yang diutus adalah malaikat, bukan manusia, agar mereka percaya. Namun Allah menyatakan bahwa diutusnya manusia sebagai pemberi peringatan kepada manusia adalah hak Allah. Allah memberikan pilihan kepada manusia berdasarkan pada dua hal; beriman atau tidak beriman (kafi r). Namun janji Allah adalah pasti, bahwa siapa yang beriman maka ia akan berada dalam rahmat Allah serta kasih sayangnya, dan barang siapa yang kafi r, niscaya akan merasakan azab yang amat pedih di hari kiamat. Pesan Allah bahwa para utusan merupakan manusia biasa juga dijelaskan oleh Allah kepada nabi-nabi terdahulu, dan hal itulah yang menjadi ejekan, cemoohan, hinaan dan pelecehan umat-umat terdahulu dan yang akhirnya harus ‘membayar’ dengan azab yang ditimpakan kepada mereka.
Allah memberikan perumpamaan antara orangorang yang mau beriman dengan orang-orang yang tidak beriman sama halnya dengan orang yang melihat dengan orang yang buta, sebagai kiasan. Orang yang beriman diibaratkan sebagai orang yang melihat (kebenaran) sedangkan orang yang tidak mau beriman diibaratkan sebagai orang buta (tidak melihat kebenaran). Perumpamaan ini juga masih berlaku untuk kita, apakah kita masih “buta” terhadap perintah agama dan syariat? Sehingga kita mengabaikannya? Atau kita adalah orang-orang yang ‘melihat’ bahwa semua itu adalah perintah yang harus ditaati? Jawabannya ada pada masing-masing kita. Wallahu a’lam.