Dr Fajran Zain, MA – Ketua Badan Riset The Aceh Institute (BRAIN)
Proses perdamaian 17 tahun antara RI Gerakan Aceh Merdeka (GAM) melahirkan kesepakatan komitmen kedua belah pihak untuk penyelesaian konflik Aceh secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua. Belum maksimalnya implementasi UUPA membuat banyak sektor riil yang bersentuhan langsung dengan masyarakat terkendala sehingga menyebabkan perekonomian dan pembangunan Aceh ikut terhambat. Simak wawancara singkat wartawan Tabloid Gema Baiturrahman Indra Kariadi dengan Ketua Badan Riset The Aceh Institute (BRAIN), Dr Fajran Zain, MA.
Bagaimana Anda melihat realisasi hasil MoU Helsinki setelah 17 tahun damai Aceh?
Realisasi MoU Helsinki sudah mencapai kira-kira pada rentang 75–80%, mulai dari penarikan pasukan, pemusnahan senjata, pembentukan lembaga-lembaga yang dimandatkan oleh MoU, reintegrasi mantan kombatan ke dalam masyarakat, serta pemberian lahan untuk mantan kombatan walau agak tersedat-sendat. Lalu lahirlah Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) yang muatannya tentang kekhususan Aceh pelan-pelan sudah direalisasikan. Memang ada beberapa butir-butir kesepakatan yang belum dilaksanakan. Maka perlu dilakukan advokasi agar dilahirkan pula regulasi-regulasi turunan dari UUPA seperti Peraturan Pemerintah (PP). Tidak semua butir-butir MoU Helsinki terakomodir dalam UUPA, maka ini menjadi PR kita bersama untuk mengusulkan dan mengawalnya.
Berapa butir yang sudah direalisasikan dari hasil 17 tahun damai Aceh?
Sudah banyak yang direalisasikan, misalnya tentang partai lokal, adanya lembaga-lembaga kekhususan Aceh seperti Wali Nanggroe, Majelis Adat Aceh (MAA), Majelis Pendidikan Aceh (MPA), dan Komisi Kebenaran Rekonsiliasi (KKR) Aceh yang semuanya lahir dari hasil MoU Helsinki, yang semua itu melengkapi hak keistimewaan Aceh yang telah dahulu ada. Memang ada beberapa hal yang harus kita akui, belum direalisasikan seperti belum terbentuknya Komisi Klaim, kemudian juga Pengadilan HAM, karena memang hal ini sangat berat untuk mendapat dukungan dari pemerintah pusat.
Siapa yang paling berperan dalam menunaikan hasil perdamaian tersebut?
Yang paling berperan dalam menunaikan butir-butir hasil MoU Helsinki adalah Pemerintah Aceh dengan Pemerintah Pusat. Sekarang butir-butir MoU sudah diejawantahkan dalam UUPA dan UUPA tersebut berhajat pada produk turunan lainnya agar bisa diterapkan, seperti Peraturan Presiden dan Peraturan Pemerintah. Untuk Perpres semua sudah ditunaikan, sedangkan PP baru lima dan masih tersisa empat lagi belum dikeluarkan. UUPA juga berhajat kepada 54 qanun yang baru 48 yang dikeluarkan.
Langkah apa yang harus dilakukan Pemerintah Aceh dan Legislatif Aceh dalam merealisasikan hasil MoU Helsinki?
Kita harus mengadvokasi untuk lahirnya produk-produk turunan UUPA, seperti bisa lahirnya PP yang terkait dengan UUPA. Saat ini Wali Nanggroe berbicara pada tataran optimalisasi UUPA, sementara legislatif bekerja pada aras yang berbeda yaitu revisi UUPA. Seharusnya ada satu kerja yang sinergis dalam menerapkan UUPA, baik eksekutif, legislatif dan semua elemen masyarakat. Harus ada kesepahaman bersama dalam mengawal dan melahirkan beberapa PP yang belum keluar. Harus ada advokasi bersama yang dilakukan oleh pemerintah Aceh, legislatif, lembaga kekhususan Aceh, Akademisi dan Ulama dan tokoh masyarakat, agar tahun depan terlihat kemajuan (progress) dari produk turunan dari UUPA yang dibutuhkan, semua PR-PR yang masih terhutang dari MoU Helsinki itu harus ditunaikan oleh Pemerintah Pusat.