Oleh: Dr. Tgk. H. Jabar Sabil, MA,

Dosen Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh

Rekayasa Budaya Aceh

Tanya Ustadz

Agenda MRB

Menurut sebagian mufasir, ayat ini ditujukan kepada ulil amri, sebab hanya ulil yang kuasa memerintah dan melarang, sedangkan umat hanya bisa mengajak. Ibn ‘Āsyūr dalam tafsir al-Taḥrīr wa al-Tanwīr memberi contoh kebijakan, di antaranya pembentukan wilāyat al-ḥisbah. Kita patut bersyukur karena contoh ini telah diterapkan di Aceh oleh Pemerintah Aceh....

Saat ini kita sedang melaksanakan even besar, yaitu Pekan Kebudayaan Aceh, maka cukup relevan jika kita membicarakan tentang rekayasa budaya Aceh. Ada yang mendefinisikan budaya sebagai pandangan hidup dari sekumpulan ide dan kebiasaan yang dimiliki dan diwariskan dari generasi ke generasi.

Umumnya validitas budaya dilihat pada unsur pembentuknya, yaitu kebiasaan, maka ia bebas nilai dan niscaya berubah. Tetapi Islam tidak melepaskan budaya dari nilai, oleh karena Islam mencela budaya yang buruk dan memerintahkan umat merekayasa budaya yang baik. Pada ayat 104 Surah Ali Imran, Allah Swt berfirman: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung (QS. Ali Imran: 104).

Menurut sebagian mufasir, ayat ini ditujukan kepada ulil amri, sebab hanya ulil yang kuasa memerintah dan melarang, sedangkan umat hanya bisa mengajak. Ibn ‘Āsyūr dalam tafsir al-Taḥrīr wa al-Tanwīr memberi contoh kebijakan, di antaranya pembentukan wilāyat al-ḥisbah. Kita patut bersyukur karena contoh ini telah diterapkan di Aceh oleh Pemerintah Aceh.

Hadirin jamaah Jum’at yang dirahmati Allah.

Rekayasa budaya Aceh telah dilakukan sejak pertama kali pendirian Kesultanan Aceh Darussalam. Umum diketahui sejarah purba Aceh diwarnai oleh budaya Hindu, tapi hari ini kita menyaksikan Aceh yang identik dengan budaya Islam. Hal ini bukan kebetulan, tapi rekayasa budaya yang direncanakan, itu termuat di dalam konstitusi Kesultanan Aceh yang pertama, yaitu Tazkirāt al-Tabaqāt al-Qānūn al-Syar‘ī Kerajaan Aceh. Ditulis pada masa Sultan ‘Alī Mughāyat Syāh (1514-1530 M), naskah ini disusun oleh al-Syaykh Syams al-Baḥr (w. ?).

Pada manuskrip yang ditemukan di Gampong Keudah ini ditetapkan kewajiban yang sampai hari ini berlaku sebagai adat, bahkan banyak orang Aceh tak tahu dari mana asalnya. Contoh, pada Pasal 2: “Tiap-tiap rakyat mendirikan rumah atau masjid atau balai-balai atau meunasah pada tiap-tiap tihang di atas puting di bawah bara hendaklah dipakai kain merah dan putih sedikit”.

Contoh lain, Pasal 17: “Diwajibkan di atas sekalian rakyat Aceh mengerjakan khanduri maulud Nabi saw. tiga bulan sepuluh hari waktunya supaya dapat sambung silaturrahmi kampung dengan kampung datang mendatangi kunjung mengunjungi berganti makan khaduri maulud”. Tidak banyak rakyat Aceh yang tahu bahwa waktu 3 bulan 10 hari berasal dari kitab undang-undang kesultanan.

Selain al-Qānūn al-Syar‘ī Kerajaan Aceh, Adat Aceh juga terbentuk berdasar Adat Meukuta Alam yang disusun pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M). Naskah ini ditulis oleh Syaykh Syams al-Dīn al-Sumatranī (w. Minggu, 24 Februari 1630 M/12 Rajab 1039 H) dan Syaykh Ibrāhīm al-Syam (w. ?)

Adat Meukuta Alam berisi ketentuan tentang susunan pemerintahan Kesultanan Aceh, namun di dalamnya terdapat kebijakan tentang rekayasa budaya Aceh, di antaranya Pasal 21: “Jikalau orang luwaran yang lain agama dari pada agama Islam yang lain dari pada orang hindi tiada boleh diterima oleh orang negeri tinggal duduk di dalam kampungnya melainkan disuruh balik ke laut ke dalam tempatnya”. Pasal ini bertujuan untuk menjaga budaya islami yang baru saja mulai berkembang, sebab pada masa ini Sultan Iskandar Muda baru mengubah beberapa candi menjadi mesjid, seperti di Indrapuri, Aceh Besar.

Adat Meukuta Alam memberlakukan hukum berdasar asas teritori, seperti yang terlihat pada Pasal 35: Yang merampas itu telah lari keluar dari dalam tiga sagi negeri Aceh maka tiada boleh berbalik ke dalam tiga sagi negeri Aceh, dan Pasal 36 yang berbunyi: Jikalau yang merampas berbalik masuk dalam tiga sagi negeri Aceh maka wajiblah hulubalang menangkap dan memotong tangannya. Adat Meukuta Alam juga mengatur tentang hari besar, di antaranya:

“Ketika akhir kesudahan hari Jum’at dari bulan Syakban, maka adalah Teuku Panglima Mesjid Raya, Teuku Kadli Malikul Adil dan Teuku Imum Lueng Bata musapat pada mesjid raya bertanya pada ulama apabila kita pertama hari yang dipegang masuk bulan puasa. Sudah tetap mesyuarat maka pergi Rama Setia menghadap raja mempersembahkan hari anu permulaan berpegang masuk puasa. Maka raja bersabda kepada Raja Udah Na Lela menyuruh memberi 1 kerbau kepada Teuku Panglima Mesjid Raya 1 Teuku Kadli Malikul Adil 1 Teuku Rama Setia 1 Teuku Imum Lueng Bata 1 Teuku Orang Kaya Sri Maharaja Lela 1 sapi pada orang kawal dari Kota Raja 1 kerbau pada orang jaga di Balai Bait al-Rahman 1 pada orang jaga di pintu besar 2 kerbau Teungku Anjong”.

Tampaklah penetapan hari ‘berpegang’ masuk puasa ditandai dengan berbagi hewan pedaging, inilah yang kemudian menjadi tradisi ‘meugang’ di Aceh.

Selain karena kiprah para sultan, rekayasa budaya di Aceh juga dilakoni oleh para ulama yang menulis buku-buku hukum Islam yang menjadi pedoman para hakim. Perlu dicatat bahwa di Aceh kala itu berkembang tradisi penyalinan kitab dalam bahasa Jawi, lalu disebar ke seluruh penjuru Nusantara. Demikian yang dapat khatib sampaikan, semoga kita dapat menjaga budaya baik kita.

 

 

Dialog

Pustaka Baiturrahman

Tafsir dan Hadist

Dinas Syariat Islam

copyright @acehmarket.id 

MRB Aceh

Media Humas dan Informasi
Mesjid Raya Banda Aceh

MRB Aceh merupakan media humas dan informasi Unit Pelaksana Teknis Daerah Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh

Menuju Islam Kaffah

Selamat Datang di
MRB Baiturrahman