Beberapa tahun yang lalu masyarakat Aceh diberikan ujian yang sangat besar yang tidak pernah disangka akan terjadi di Aceh, yaitu tsunami yang maha dahsyat. Sebegitu dahsyatnya sehingga banyak anggota masyarakat yang mengalami langsung efek dari peristiwa itu belum mampu melupakan kepedihan dan rasa kehilangan yang mereka alami. Bahkan menurut banyak cerita yang berkembang, banyak anggota masyarakat ketika itu tidak lagi berusaha menyelamatkan diri karena menganggap hari kiamat telah tiba. Musibah bagi Aceh dan kawasan sekitarnya itu bukan hanya telah merenggut banyak nyawa manusia, tapi juga telah menyebabkan kesedihan dan trauma berkepanjangan. Sejumlah lebih dari 200 ribu nyawa masyarakat Aceh ketika itu terenggut. Lantas, apa ibrah dan hikmah yang dapat kita petik hari ini?
Musibah seperti ini adalah ujian dari Allah SWT bagi umat manusia. Ujian tersebut dapat dilihat dari berbagai sisi dan jenisnya. Ada musibah yang disebabkan oleh ulah kita sendiri karena kurang mensyukuri nikmat atau durhaka kepada Allah, dan ada pula yang merupakan ujian dari Allah agar makhluknya menjadi lebih bertaqwa kepadaNya. Semua itu tentunya telah ditakdirkan oleh Allah sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Hadid Ayat 22 :
Artinya:
“Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah.”
Apapun jenis musibah, tidak ada satu makhluk pun di dunia ini yang dapat lari dari qadha dan qadarNya. Jika Allah sudah menghendaki maka pasti hal itu akan terjadi. Manusia ditakdirkan untuk hidup kemudian mati, manusia ditakdirkan untuk sehat dan kemudian mengalami sakit, manusia ditakdirkan lahir dan menjalani kehidupan kana-kanak lalu kemudian menjadi tua. Nabi-nabi saja yang sangat disayangi Allah SWT dahulu tetap diuji dengan berbagai ujian yang berat, apalagi kita hanya manusia biasa. Tidak ada di antara kita yang dapat menghindar dari ketentuan Allah ketika suatu musibah datang dan melanda sebuah negeri.
Allah berfirman dalam Surat At-Taubah Ayat 51:
Artinya:
Katakanlah: “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal”.
Secara ringkas, ada beberapa hal yang ingin khatib sampaikan sebagai inti dari perenungan kita terhadap peristiwa yang sangat kolosal ini.
Pertama, kita harus terus berupaya mempertebal keimanan kita, ketakwaaan kita dan tawakkal kita kepada Allah SWT. Tawakkal bermakna berserah diri yaitu kondisi dimana pikiran, hati dan indera kita sepenuhnya berada dalam kepasrahan dan rasa tunduk kepada Allah. Manifestasi dari keberadaan seseorang dalam kondisi berserah diri itu dapat diwujudkan dalam bentuk bertambahnya rasa sabar dalam menjalani seluk beluk kehidupan yang semakin hari semakin menantang, kemudian memperbanyak ibadah dan zikir mengingat arti hidup yang sementara ini, dan senantiasa berdo’a kepada Allah agar kita terus mampu bersabar atas segala ujian dan cobaan yang akan Allah timpakan kepada kita di masa yang akan datang.
Dalam konteks kehidupan yang lebih luas, bersabar juga berarti berupaya menahan diri untuk tidak melalukan hal-hal yang kontraproduktif terhadap makna dan prinsip kesabaran itu sendiri, seperti dengan sadar melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap aturan Allah SWT, apalagi hanya karena ingin mendapatkan kemewahan duniawi yang bersifat sementara. Sabar juga berarti rela untuk terlihat sederhana dan apa adanya di mata makhluk Allah lainnya karena kita tahu bahwa yang terpenting dalam hidup ini adalah bagaimana penilaian Allah tentang kita, bukan penilaian makhlukNya sebagaimana tergambar dalam sebuah hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:
Artinya:
“Sesungguhnya Allah tidak melihat pada rupa-rupa kalian dan harta-harta kalian, akan tetapi Allah melihat pada hati-hati kalian dan amalan-amalan kalian.” (HR. Muslim no. 2564)
Kedua, dalam banyak dalil agama, baik ayat maupun hadits, kita diajarkan untuk selalu menoleh ke belakang dan merenungkan apa yang telah terjadi di masa yang lalu, bukan untuk ditangisi atau diratapi tanpa kesudahan, akan tetapi untuk diambil pelajarannya dan digunakan untuk menata langkah ke depan. Misalnya, Allah berfirman dalam surah As-Saaffaat ayat 73:
Artinya:
“Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang diberi peringatan itu.” (QS. AS Saafaat 73)
Aceh telah melewati beberapa peristiwa memilukan dalam sejarahnya, yang terakhir adalah konflik bersenjata, tsunami dan covid-19. Banyak sekali korban telah jatuh dalam berbagai peristiwa tersebut, namun apakah kita sebagai sebuah masyarakat yang dikenal agamis telah sepenuhnya belajar dari pengalaman yang lalu? Mungkin belum. Rasulullah menegaskan dalam sebuah haditsnya bahwa merugilah orang yang kualitas harinya masih sama dengan kemarin dan terlaknatlah orang yang kualitas harinya lebih buruk dari kemarin.
Artinya: “Barang siapa hari ini lebih baik dari hari kemarin, dialah tergolong orang yang beruntung, dan
barang siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin dialah tergolong orang yang merugi, dan barang siapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin dialah tergolong orang yang celaka.” (HR. Al Hakim).
Ketiga, dalam memaknai peristiwa besar nan memilukan itu, tentunya kita juga harus bertekat untuk melakukan perubahan-perubahan yang juga besar di dalam hidup kita. Berserah diri sebagaimana yang telah kita bicarakan tadi bukan berarti meninggalkan konsep ikhtiar, tetapi sebaliknya, jika musibah itu kita artikan sebagai teguran Allah yang disebabkan oleh sesuatu yang mungkin telah menyebabkan Allah murka, maka ikhtiar untuk menghadirkan perubahan dalam hidup kita dan menciptakan kondisi yang membuat Allah ridha kepada kita menjadi wajib, walalupun terkadang kita berada dalam kondisi yang sangat membuat kita putus asa. Firman Allah dalam surah Ar-Ra’du ayat 11:
Artinya:
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”
Satu usaha nyata yang dapat kita lakukan secara bersama untuk menuai ridha Allah kepada daerah kita yang kita cintai ini adalah dengan membumikan aturan-aturan Allah di dalam kehidupan kita secara menyeluruh. Sudah saatnya kita menyadari dan memperingatkan orang-orang di sekitar kita bahwa janji Allah adalah haq baik yang merupakan kebaikan atau nikmat maupun dalam bentuk musibah. Mari kita senantiasa mengajak orang-orang yang selama ini kurang peduli terhadap upaya penguatan nilai-nilai Islam dalam kehidupan masyarakat khususnya di Aceh, termasuk mereka yang bahkan selama ini ikut melecehkan nilai-nilai tersebut, untuk kembali ke jalan Allah. Apabila hal ini tidak kita indahkan maka kekufuran itu kita takutkan akan menjelma menjadi kemurkaan Allah SWT dalam bentuk musibah- musibah lainnya yang akan menimpa kita.
Keempat, kerapuhan nilai dalam masyarakat terkadang merupakan konsekuensi dari pudarnya kepedulian kolektif yang dipicu oleh perubahan tatanan kehidupan sosial politik dan budaya. Akibatnya, masyarakat secara tidak sadar dan secara perlahan tergiring untuk menjadi lebih permisif dan masa bodo pada hal-hal yang tidak terkait langsung dengan diri mereka. Akhirnya pudarlah nilai-nilai amar makruf dan nahi mungkar
dari sanubari masyarakat dan bertumbuhanlah nilai-nilai negatif atau prilaku buruk yang semakin hari semakin sulit untuk disembuhkan. Fenomena seperti inilah yang dapat kemudian menyebabkan turunnya teguran atau azab dari Allah yang apabila itu terjadi bukan hanya akan dirasakan oleh orang-orang yang berbuat zalim saja tetapi dirasakan oleh seluruh komponen yang ada dalam masyarakat tersebut. Allah berfirman dalam surah Al-Anfal Ayat 25:
Artinya: “dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya.”
Di dalam ayat di atas, dengan tegas Allah mengingatkan manusia bahwa menyelamatkan sebuah negeri dari fitnah atau musibah besar adalah tugas kolektif, tidak cukup hanya dengan menjaga keshalihan diri sendiri dan menutup mata kepada kemaksiatan yang terjadi di sekeliling kita. Bahkan Allah menjadikan kepedulian sosial sebuah indikator untuk mengukur kadar keimanan seseorang, seperti dideskripsikan dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim:
Artinya: ”Tidaklah salah seorang di antara kalian beriman (dengan keimanan yang sempurna) sampai dia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Sebagai penutup khutbah singkat ini, mari sekali lagi kita renungkan dan saling mengingatkan tentang beberapa hal:
- Mari kita terus mengingatkan sesama akan pentingnya bersabar terhadap musibah, karena setiap musibah adalah takdir Allah yang tidak bisa ditolak. Yang membedakan adalah bagaimana sikap kita dalam menghadapi musibah tersebut.
- Sangat penting untuk selalu belajar dari masa lalu, baik yang berupa kegemilangan agar dapat kembali diwujudkan maupun yang berupa malapetaka agar dapat dihindari di masa yang akan dating. Allah kerap menekankan di dalam al-Quran bahwa kemenangan hanya milik orang-orang yang selalu melihat keterpurukan di masa lalu.
- Kita sebagai bangsa harus terus membuat komitmen dan tekad untuk menghadirkan perubahan yang signifikan dalam hidup kita. Kehidupan muslim tidak boleh stagnan atau malah menjadi lebih buruk dari sebelumnya.
- Yang terakhir, kita harus menyadari bahwa kolektifitas sangat diperlukan dalam membangun sebuah masyarakat yang madani. Kolektifitas bukan hanya berlaku ketika Allah memberikan kemakmuran bagi sebuah masyarakat tetapi juga berlaku ketiga Allah menimpakan musibah kepada mereka.
Mudah-mudahan khutbah yang singkat ini ada manfaatnya bagi khatib sendiri dan juga bagi jamaah sekalian.