Gema JUMAT, 13 November 2015
Oleh: Sayed Muhammad Husen
Damai Aceh sepuluh tahun sudah. Karena itu, seharusnya kita menyampaikan syukur kepada Allah SWT yang telah “mendamaikan” RI-GAM dari konfl ik panjang mencapai hampir genap 30 tahun. Rasa syukur itu tentu saja tak hanya kita ucapkan berkali-kali. Bukan serimonial peringatan damai semata. Tapi kita implementasikan dalam bentuk maksimalitas mengisi perdamaian itu dalam segala bentuk dan bidang kehidupan.
Kita belum puas terhadap hasil yang telah kita capai selama sepuluh tahun damai. Seharusnya memang tak puas. Sebab kita baru memulai melakukan transformasi konfl ik kepada damai. Dari perang kepada demokrasi. Dari kekerasan kepada kedamaian hakiki. Dari perilaku kasar kepada kesantunan. Dari sikap otoriter kepada sifat demokrat. Semua ini masih dalam tahap transisi.
Pada sisi lain, kita masih menemukan sandungan terhadap perdamaian itu sendiri. Misalnya, kriminal berbaju protes bersenjata, kelambanan pengesahan regulasi turunan Undang-Undang Pemerintahan Aceh dan ASNLF yang tak sepakat dengan perdamaian. Fakta lain, masih ada sebagian rakyat Aceh yang frustasi akibat tak mendapatkan akses terhadap pembangunan. Mereka belum merasakan kesejahteraan yang diimpikan ketika konfl ik dulu. Sandungan damai ini tentu harus kita siasati dan arifi dengan baik, sehingga tak semakin melebar dan berpotensi melahirkan konfl ik baru.
Sandungan ini dapat secepatnya kita selesaikan dengan pendekatan terpadu dan menggerakkan potensi politik dan pemerintahan. Kekuasan yang selama ini didominasi oleh mantan aktor konfl ik dulu, seharusya kita efektifkan untuk mensiasi sandungan konflik itu. Kita jadikannya sebagai problem solving (pemecahan masalah). Saatnya kita menggerakkan kekuatan rakyat dan ulama. Partisipasi rakyat Aceh dalam melestarikan pedamaian dan membantu menyelesaikan masalahmasalah yang ada, merupakan modal dasar yang menjamin damai itu abadi. Mereka bukan hanya obyek sosialisasi perdamaian, tapi mereka adalah pelaku yang mampu menciptakan damai, sesuai peran dan kemampuan masing-masing. Demikian juga ulama, perlu kita minta perannya mengawal damai ini.
Jadi, sandungan damai sebenarnya bukan ancaman terhadap perdamaian itu sendiri. Sandungan ini dapat kita baca sebagai tantangan dan semangat baru melestarikan perdamaian. Kita dapat mensiasatinya dengan memperbaiki diplomasi dan komunikasi efektif dengan multi pemangku kepentingan. Mari kita “rangkul” mereka sebagai pendukung perdamaian abadi.